Sabtu, 05 November 2016

BELAJAR



02 November 2016

X             : Bu Dian, gimana sih caranya nyuruh anak supaya aktif kegiatan sekolah? Perasaan kalo ada lomba-lomba anaknya Bu Dian ikut mulu dah. Kemaren lomba senam ikut, lomba nari ikut, trus futsal juga ikut.
Dian       : Ah, mang iya bu?
X             : iya, belom lagi kalo masalah bayaran. Kayaknya anaknya Bu Dian lancar-lancar aja. Kita mah empot-empotan nagihin ke anak.
Dian       : Kebetulan aja bu, saya dapet anak yang seperti itu.
X             : enggak ah! Taun lalu aja buktinya anaknya Bu Dian yang uang kasnya paling gede.
Dian       : Hahahahah. Kalo kata orang, tingkah laku anak itu cerminan wali kelasnya bu. Hehhehehe.
Sambil becanda, karena kalau saya nyakal terus ga akan selese-selese.

Kalau di pikir-pikir, saya juga baru sadar ternyata anak saya cukup aktif juga kalau di sekolah. Jujur sebenarnya saya sendiri tidak terlalu memperhatikan anak asuh saya (X-AP-5) karena intensitas saya bertemu mereka hanya dua kali seminggu dan itupun memang hanya saya fokuskan untuk belajar matematika. Jangankan untuk menyuruh anak aktif sekolah, untuk memotivasi siswa saja saya tidak pernah.

Ada pepatah yang bilang “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, mungkin itulah yang mereka pelajari dari saya. Saya tidak mengatakan diri saya baik. Saya hanya berusaha menjadi fasilitator untuk anak-anak. Kalau mereka bercerita, dengarkan. Kalau mereka butuh sesuatu, dibantu. Kalau mereka takut, dampingi. Dan kalau mereka bermasalah, selesaikan. Intinya jangan samapi anak merasa asing dan segan dengan keberadaan kita. Sebenarnya mudah kok untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka. Caranya :

“JANGAN MENGUNGKAPKAN KESALAHAN ANAK DI DEPAN UMUM”

Kadang kita terlalu mengebu-gebu untuk merubah anak lebih baik, sampai-sampai ketika mereka melakukan kesalahan kita langsung mencegahnya agar ia tidak melakukan kesalahan yang sama dan berulang. Memang harusnya seperti itu, agar anak tidak keblablasan dalam suatu masalah. Tapi perlu di ingat, kadang kita lose control. Kadang suka langsung main tangan, langsung memarahi atau bahkan menjadikan mereka kambing hitam untuk di permalukan di muka umum. Karena itulah, awal anak akan menjadi kurang percaya diri. Sehingga untuk mengikuti apapun, mereka akan malu dengan guru mereka.

Saya belajar dari ibu saya. Dulu saya pikir memahami orangtua yang sibuk bekerja adalah suatu bentuk pengertian anak terhadap pengorbanan orangtua untuk anaknya. Namun lama kelamaan saya tersadar, ternyata hak saya tersita dengan kesibukan mereka. Berbagai pengajian saya ikuti, berbagai seminar parenting saya jalani. Namun ilmu yang saya dapat justru tidak membuat saya semakin cinta kepada kedua orangtua saya namun malah kebalikannya, terlebih ketika saya sedang konflik dengannya. Saya terlalu marah pada ibu bahkan mungkin kedua orangtuaku. Saya marah, saya tidak pernah mendapatkan hak seorang anak yang saya pelajari di seminar atau pengajian yang saya jalani dari kedua orangtua saya.

Tapi setiap saya marah kepada orangtua. Saya selalu ingat bagaimana orangtua saya melindungi saya. Andaikata ibu saya membongkar aib saya di depan umum ataupun mengbongkar aib saya ketika saya sendiri. Mungkin rasa benci itu akan mengakar daging di dalam dalam diri saya.

Sejak SD saya dilatih oleh ibu saya untuk hidup berkecukupan. Ibu tidak akan memberi uang jajan lebih walaupun saya menangis meraung-raung. Hingga dimata saya, ibu adalah orang jahat yang pernah ada.  Bagaimana mungkin uang yang saya dapatkan, yang sebenarnya hanya cukup untuk jajan di sekolah. Harus saya bagi-bagi untuk jajan di rumah dan untuk jajan di TPA (Taman Pengajian Al-quran). Karena saya tahu meminta uang ke orangtua adalah perbuatan sia-sia, akhirnya saya menggunakan uang bayaran sekolah untuk memenuhi kebutuhan saya. Hingga ketika lulus SD saya bermasalah dengan ijasah terkait dengan bayaran sekolah. Saat mengambil rapot, saya tidak berani menemani orangtua saya menghadapi wali kelas karena saya tahu, saya telah melakukan kesalahan. Pulang dari pengambilan rapot, ibu sama sekali tidak menyinggung masalah bayaran saya yang tertunggak. Entahlah, apa yang terjadi antara ibu saya dan wali kelas saya.

Begitu masuk SMP, hal tersebut terulang kembali. Penyakit saya kambuh yaitu menggunakan uang SPP saya untuk jajan. Bahkan saya terancam tidak bisa mengikuti Ujian Semester saat kelas 7. Kali ini saya tidak bisa menghindari. Kalau dulu saya bisa menghindar untuk tidak menemani orangtua saya ke sekolah, tapi kalau ini saya tidak mungkin menghindar. Mau tidak mau saya harus menemani orangtua saya ke sekolah, hanya saja saya tidak ke ruang Tata Usaha.

Bayangan yang masih saya ingat hingga hari ini yaitu ketika ibu membawakan kartu ujian keruangan saya dan berkata “Ini kartu ujiannya, jawab ulangannya yang betul ya”. Tak ada kalimat yang keluar setelah itu. Bahkan sampai hari ini, ibu tidak pernah mengungkit kesalahan yang saya lakukan hingga terulang dua kali.

Semenjak itu saya tersadar, orang yang saya pikir adalah orang terjahat dan yang terpelit yang pernah ada. Justru orang yang mengajarkan akhlak mulya yang pernah ada. Ia tidak marah sudah saya bohongi dan ia juga tidak pernah menceritakan aib saya ke oranglain ataupun berusaha mengklarifikasi ke diri saya sendiri. Mungkin ibu tahu, ketika ibu berusaha mencari kebenaran jutru akan mempengaruhi mental saya. Saat itu saya menjadi pribadi malu semalunya kepada orangtua saya dan saya ber azzam untuk tidak mengulangi lagi.

Ada pelajaran yang bisa saya ambil dari sikap orangtua dan guru-guru saya. Mengajarkan anak untuk jujur tidak harus dengan meengkambing hitamkan mereka dengan memaksa untuk mengakui kesalahannya. Cukup dengan mengetahui, memaklumi dan memaafkan. Terima kasih untuk ibu ku tersayang dan terimakasih untuk guru-guruku yang tak pernah memojokanku. Dari kalian aku belajar menjadi guru yang baik untuk anak-anaku.



#CatatanHatiSeorangGuru7
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar