CUKUP SEKALI SAJA
Minggu, 30 Oktober 2016
Manusia itu hanya bisa merencanakan, sisanya Allah yang menentukan.
Kalau di ingat rasanya memang lucu. Sabtu kemarin ada 4 teman yang mengajak Car
Free Day (CFD) an untuk hari Minggu. Hingga sampai membuat saya kebingungan
untuk memutuskan jalan dengan siapa. Namun akhirnya, saya putuskan untuk jalan
bersama Tikpo dan Fani. Hingga H-9 jam, Allah merencanakan lain. Tiba-tiba
mendapat kabar, Fani mengalami kecelakaan motor. Walau ia mengatakan baik-baik
saja dan tetap ingin melaksanakan CFD an, tapi cukup membuat saya dan Tikpo khawatir jika terlalu di paksakan.
Hingga H-2 jam, rencana itu semakin kuat untuk gagal. Ternyata kondisi
Fani masih sakit dan Tikpo masih belum tidur sampai pukul 3 pagi. OK FIX BATAL.
Kecewa? Tidak juga. Saya coba hubungi teman-teman yang mengajak saya CFD-an
sebelumnya, dan ternyata semuanya sudah memiliki rencananya masing-masing.
Heheheh. Mungkin ini memang rejeki saya untuk istirahat di rumah, berhubung
sabtu-nya saya pulang terlalu larut malam dan memang membutuhkan istirahat.
Lucu memang lucu, dari awalnya yang banyak pilihan tiba-tiba sudah
tidak ada pilihan.
Dan yang membuat semakin lucu adalah ketika kami sudah memutuskan untuk
istirahat di rumah. Tiba-tiba si Fani mengajak untuk menghadiri kajian di
Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia. Tempat biasanya kami parkir motor untuk
CFD-an. Antara nyesek ga nyesek kami ternyata tetap ke sini juga. Ya, karena
Salim A. Fillah lah kami kesana.
Dan yang semakin lucu lagi, selesai menghadiri kajian tanpa pikir
panjang kami cabut ke Bogor hanya untuk berdiri di kereta selama 3 jam.
Nyesel se nyesel nyeselnya. Kapok se kapok kapoknya. Ga mau ke Bogor
lagi. Bayangin aja, baru sampe Bogor cuma numpang makan soto mie lalu jajan
gemblong, PULANG.
Ga mau ke Bogor lagi. Jadi anak ilang, ujan-ujanan, baju lepek, musti
berdesak-desakan pula. Aaaaaaa tidakkkkkkkkkk. Ternyata Bogor tak seindah yang
di bayangkan, KALO PERGI TANPA PERENCANAAN. Sebenernya saya sih tak ada
masalah, tapi ga tega ma Fani. Uda sakit, niatnya tidak CFD-an untuk istirahat.
Ini malah saya ajak untuk sengsara. Maaf ya fan, dwL ga bakal nakal lagi deh. JANJI.
Yang membuat tidak nyaman itu, perjalanannya. Selain kami harus
berdiri, kami juga harus melihat pemandangan yang tidak menyenangkan. Pusing
saya kalau harus melihat orang emosi lalu berbicara kasar di tempat umum.
Padahal situasi sempit (berdesak-desakan), bisa-bisanya mereka bertengkar. Dan
yang paling menyebalkan itu adalah ketika sekuriti laki-laki mulai
berteriak-teriak untuk mengusir penumpang pria yang masuk ke gerbong khusus
wanita.
Saya paham maksud baik sekuriti tersebut untuk menindak tegas penumpang
pria yang masuk gerbong wanita untuk menjaga kenyamanan wanita. Tapi kalau pada
akhirnya sekuriti laki-laki tersebut meluapkan emosinya di depan wanita, bagi
saya sama saja menjatuhkan martabat dan harga dirinnya. Di tambah lagi ketika
orang yang melawan sekuriti tersebut, yang awalnya emosi tetapi lebih memilih untuk
meredam amarahnya dan meminta maaf terlebih dahulu. Namun si sekuriti dengan
tingkah sombongnya justru pergi meninggalkan bapak yang meminta maaf tersebut.
Jatuh sudah martabat si sekuriti tersebut di mata saya.
Kejadian di atas mengingatkan saya ketika SMA. Saya masih ingat sekali
tatapanya dan cara marahnya teman saya kepada saya. Sebut saja, namanya **za
(Biiiiippppppp^&(@^#(^#). **za anaknya baik, ramah, supel, populer dan
cukup pandai di sekolah. Hingga suatu hari ia sebagai ketua kelas mendapatkan
tugas untuk membagikan kartu ujian sekolah. Entah bagaimana ceritanya, ternyata
kartu ujian saya tidak ada. Saya coba berbicara baik-baik namun hanyalah ingatan
pahit yang saya masih ingat hingga hari ini.
Dian : Za... kartu gw kok ga
ada.
** za : NTAR DULU KEK!!!
Cukup syok saya mendengar nada amarahnya sambil membentak saya.
Ternyata orang yang saya anggap baik dan ramah bisa membentak seperti itu di
depan teman perempuannya.
Dan tanpa saya sadari, mata saya langsung berkaca-kaca karena bentakan
si **za. Saya nangis bukan karena saya punya perasaan dengannya. Tapi saya
nangis karena Bapak saya saja seumur-umur tidak pernah membentak saya. situ
siapa???
Dan sepertinya waktu itu, ia melihat mata saya berkaca-kaca. Satu hal
yang membuat saya salut kepadanya. Ketika dia melihat saya hampir nangis lalu
ia langsung pergi tanpa bicara apapun. Coba seandainya dia bicara “GITU AJA
CENGENG”, pasti saya sudah nangis bombay di kelas. Dan yang membuat saya salut
lagi, ternyata ia pergi mencarikan kartu ujian saya. entah menanyakan kembali
di TU atau mencarikan karena terjatuh.
Sejak itu, image dia di mata saya sedikit mengecewakan. Walaupun saya
tahu ia adalah orang yang bertanggung jawab, buktinya ia sampai rela mencarikan
kartu ujian saya sampai ketemu. Tapi, tetep aja kalau ada laki-laki yang pernah
membentak perempuan itu, kayaknyaaaa gimanaaaa gitu.
Sampai suatu ketika saya pernah melihat dia di UNJ dan kami berpapasan.
Lalu ia berusaha menyapa diriku dengan ramah. Namun saya hanya membalasnya
dengan senyum seadanya. Hah! Masih aja kebayang ingatan masa lalu.
Intinya sih, laki-laki itu harus hati-hati deh kalo lagi emosi di depan
wanita.
Hah~ gara-gara si sekuti bletot, saya jadi ceritaiin beginian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar