01 Januari
2019
Beberapa
pekan akhir ini, entah mengapa lebih banyak mendengar kesan negatif tentang
diri ini. Banyak orang yang bilang saya itu sombong, galak, keras, gampang
marah, memandang rendah oranglain bahkan tidak pernah ramah kepada siapapun.
Hugh...
(menghela nafas) rasanya seperti sebuah tamparan berat. Sebegitu negatifkah
karakter saya?. Sampai ada beberapa rekan kerja “untuk urusan pekerjaanpun”
segan untuk memulai pembicaraan.
Memang benar
apa kata pepatah yang mengatakan “yang paling sulit itu adalah menerima
kenyataan pada diri kita”. Antara takut kecewa dengan apa yang sudah di
percayai selama ini atau tidak mau berubah dan merubah kepercayaannya selama
ini. Tinggal sekarang, pilihannya itu memperbaiki kenyataan tersebut atau
tertindas memikirkan omongan oranglain.
Semangat dian,
sepahit apapun hidup kamu harus bisa melaluinya.
Saya itu punya
dua teman yang saya saluuuuutttt banget dengan mereka berdua, Zia dan Tukeng.
Mereka itu orang yang paling bisa mengontrol emosi di depan orang yang membuat
kesal mereka. Saya tahu bagaimana kondisi mereka saat mereka kesal, marah
bahkan emosi tingkat tinggi pada seseorang. Tapi begitu mereka bertemu bahkan
berbicara dengan orang tersebut, tak sedikitpun mereka menunjukan kekesalan itu
walau hanya sekecil kerikil. Mereka bisa bersikap tenang bahkan bersikap lembut,
sebaik-baiknya bersikap terhadap dengan orang yang sudah membuat mereka emosi.
Sedangkan saya? hagh! Boro-boro bisa seperti itu...
Jadi terngingat
hari terakhir di Jogja. Hari itu kami mendapat musibah yaitu belanjaan yang
kami beli di toko batik siang hari, tiba-tiba entah lupa tertinggal dimana. Dan
kami baru teringat begitu sampai rumah ternyata sudah magrib, sedangkan pukul
20:00 kami sudah harus berangkat menuju Stasiun Tugu Malioboro. Kebayangkan
kan? Bagaimana macetnya daerah sana di tambah lagi kami belum packing dan mengirim paket baju kotor.
Akhirnya
sekitar pukul 19:30 kami mulai berangkat dan di antar dengan motor oleh
keluarganya Bu Beti (Masyallah, semoga
Allah memberi keberkahan dalam keluarga besarnya bu Beti. Itu beneran, sumpah
ngerepotin banget) untuk menghindari kemacetan di wilayah Malioboro.
Setelah
kirim paket kami lanjutkan kembali ke toko batik tersebut untuk menghilangkan
rasa penasaran kami bahwa batik tersebut memang sudah tidak ada di sana.
Sesampainya disana, hal yang tak pernah saya bayangkan itu ternyata adiknya Bu
Beti meminta tolong security untuk
cek CCTV di tempat kemungkinan kami kehilangan belanjaan tersebut dan ternyata
memang tidak ada. Ya sudah kami ikhlaskan. Sedangkan saat itu waktu sudah
menunjukan pukul 21:00 dan kereta keberangkatan Tukeng pukul 21:25.
Saya tahu,
saya dan Tukeng itu panik, sepanik-paniknya. Khawatir, bisa sampai tepat waktu
atau tidak di stasiun dalam waktu 25 menit. Sedangkan di google map arah Stasiun Tugu berwarna merah tua. Hagh?! Saya coba
mengendarai dengan kecepatan tinggi mencoba mengejar motor adiknya Bu Beti yang
sudah melaju kencang di depan.
Tapi memang
seperti itu ya, ketika kita panik entah mengapa tiba-tiba semua hambatan muncul
seketika. Entah mobil yang tiba-tiba nyetir sembaranganlah di saat lagi
ngebut-ngebutnya sampai kita kehilangan jejak motor adiknya Bu Beti. Wah... Pikiran
kacau saat itu, uda kebayang gimana kalau sampai nyasar tak tau arah ke Stasiun
Tugu, telat dan ketinggalan kereta, mana belum cetak tiket juga. Pikiran kalut
saat itu.
But, saat itu pula tiba-tiba Tukeng
mengelus lengan kanan saya sambil berkata “Tenang di ... Tenang di ...”. Astagfirullah
hal adzim, tamparan berat! Padahal Tukeng yang akan terlambat tapi Tukeng pula
yang masih bisa tetap tenang.
Saat itu,
akhirnya saya paham juga akan sebuah pertanyaan yang dari dulu sungguh membuat
penasaran.
“Mengapa dua orang yang berbeda karakter
bisa hidup bersama, bisa berjodoh atau mungkin bisa juga berteman baik”. Jawabannya
seperti jawaban yang sebenarnya sudah saya dapatkan dari dulu. Sederhana, simple
“karena untuk saling melengkapi”.
Kamu termasuk orang yang emosi, maka harus berteman dengan orang yang pandai
menenangkan. Kamu orang yang pendiam, kamu harus berteman dengan orang yang
cerewet. Dan seterusnya, dan seterusnya...
Lalu apakah
artinya dua orang berbeda tidak akan menemukan satu titik tujuan ?.
Tidak, itu
salah. Yang benar, visi itu harus sama karakter boleh beda. Berbeda karakter
bukan berarti berbeda pemikiran, berbeda pemahaman. Justru biasanya, ketika dua
orang memilih untuk bersama entah berjodoh atau berteman baik biasanya karena
memiliki satu kesamaan (SATU VISI). Bisa
saja nyaman berteman karena sama-sama suka hiking/ travelling/ olahraga ataupun
bisa berjodoh karena sama-sama satu profesi. Apapun alasannya, pasti itulah
visi mereka.
Sama seperti
kisah Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Ketika Musa mendapat amanah untuk
mendakwahi fir’aun, (sebelum berangkat) Musa meminta kepada Allah SWT untuk di
berikan seorang teman yang bisa meneguhkan pendiriaanya. Dan permintaan Musa
tidak sembarangan, Musa paham dimana kelebihannya dan Musa paham pula dimana
kekurangannya karena itu Musa memilih Harun, yang Musa yakini mampu melengkapi
kekurangannnya, mampu menguatkan amanahnya dan pastinya harus memiliki visi
yang sama. Yaitu apa yang akan dilakukan ataupun dikerjakan adalah karena Allah
ta’alla.
Saya banyak
belajar dari kisah Nabi Musa as tentang sebuah pertemanan. Tanpa kita sadari,
ada satu alasan mengapa kita bisa berteman dengan seseorang hingga bertahun-tahun
adalah karena visi kita yang sama.
Hem...
rasanya saya terlalu sering bercerita tentang cita-cita saya dan teman saya
yang alhamdulillah atas izin Allah dulu pernah ke Korea. Dan saya selalu suka
untuk menceritakaanya berulang-ulang bahkan untuk beribu-ribu kali pun saya
tidak akan pernah bosan. Saya tidak pernah menceritakan seperti apa itu Korea
ataupun apa yang saya lakukan di Korea. Tapi yang saya selalu ceritakan itu
adalah prosesnya. Bagaimana saya bertemu dengan teman-teman saya, bagaimana
saya bisa mengumpulkan uang hingga belasan juta, apa saja yang kami lakukan
ketika kami mulai menyerah untuk tidak berangkat dan sebagainya.
Dari situ saya belajar, untuk mewujudkan
cita-cita itu tidak bisa di raih seorang diri tapi kita butuh teman yang
se-visi, kita butuh teman yang tetap saling mengingatkan dan teman yang saling
meneguhkan.
Sama seperti
pengalaman saya mengikuti tes CPNS 2018.
Saya
memiliki seorang teman, Fani namanya. Jauh sebelum CPNS DKI membuka lowongan,
kami sudah mencari-cari info apapun terkait persyaratan mengikuti seleksi CPNS
guru. Hingga tibalah waktunya, DKI membuka pengumuman CPNS.
Jedar!!!
Rasanya seperti tersambar halilintar, DKI mengharuskan sebuah persyaratan yang
cukup membuat berat yaitu TOEFL minimal 400. Dan kami sadar, kami tidak
memiliki kemampuan itu bahkan dulu saat kuliah kami harus mengulang tes TOEFL hingga
tiga kali hanya demi kata lulus.
Udah! Saat
itu sudah tidak kepikiran lagi untuk ikut CPNS DKI. Di tambah lagi teman di
satu lingkungan kerja pun seluruhnya menyerah untuk mengikuti CPNS DKI.
Hilangnya harapan
itu dengan sendirinya.
Hari itu
Jumat, tiba-tiba Fani nelpon menawarkan untuk tes TOEFL bareng di ILP Tanjung
Duren pada hari Senin. Yang paling paham atas kemampuan saya itu adalah saya.
Dan saya paham sekali, saya tidak akan lulus. Dulu saja saya harus mengulang
tiga kali dan kini saya harus tes TOEFL di lembaga bahasa asingnya langsung,
rasanya tidak mungkin untuk lulus dengan skor 400. Itu terlalu tinggi. Tapi
Fani, pandai sekali menyakinkan padahal saya tahu ketakutan yang saya rasakan
pasti ia rasakan juga.
“Wel, dwL
masih punya waktu 2 hari untuk belajar. Kita sama-sama kerja keras ya Wel”
Hati
tiba-tiba menjadi tenang. Ya Allah, rasanya sudah lama sekali tidak di rangkul.
Hari Senin
pun tiba. Pulang sekolah kembali saya di telpon Fani. Di seberang sana suara
Fani terdengar sangat lirih, terlihat sekali kesehatannya sedang terganggu.
“Well,
gimana? Hari ini jadi tes?”
Dengan nada
pasrah saya menjawab.
“Fan,
kayaknya gw ga bisa ikut tes deh. Di sekolah lagi sibuk banget, ga bisa ninggalin
kerjaan”
“Tapi udah
belajar?”
“Udah sih.
Tapi ya gitu, belajar sekenanya aja. Banyak kerjaan sekolah yang musti di
selesein”
“Yah wel, kalo
kerjaan banyak. Fani juga, kalo nurutin kerjaan mah ga bakal kelar”
“Tapi fan gw
ga ada waktu”
“sama...
Fani juga, kalo kayak gini musti sempet-sempetin Wel”
“Terus gw
juga belom bener-bener belajar”
“Nah sama,
Fani juga. Ini Fani sempet-sempetin belajar pas jam istirahat ma guru bahasa
inggris. Ya udah...gimana kalo tes nya kita mundur Selasa aja. Kalo Selasa kita
masih ada waktu tuh buat registrasi. Soalnya kalo udah lewat Selasa uda ga
bisa, TOEFLnya kan butuh waktu 1 minggu buat tau hasilnya”
Masih jiper,
ga pede, hopless..
“Tapi fan...
bla bla bla” saya terus berdalih.
“Wel wel..
dengerin Fani, dengerin Fani” Fani mencoba memotong omongan saya yang terus
berdalih.
“Semua yang
dwL rasain, juga Fani rasain. Pasti dwL mikirin juga kan, gimana caranya sekali
tes ini langsung lulus (soalnya biayanya mahal, 250 rb sekali tes). Pasti dwL
ga mau ngulang lagi kan?. Gini well... kita ga akan tahu hasilnya, kalau kita
belum pernah mencoba. Kalaupun nanti hasilnya tak sesuai harapan, ya sudah kita
ikhlasin aja setidaknya kita sudah ikhtiar, terus kita juga masih bisa coba di
formasi lain juga kan... Gimana sholat dhuha dan qiyamul lailnya? Masih jalan
kan? Fani titip doa ya Well, Fani sedih. Fani lagi ga sholat jadi ga bisa QL.
Fanni uda titip do’a ma anak-anak tapi Fani titip doa ma dwL juga ya?”
Huuuaaaa....
rasanya mau nangis saat itu, ternyata saya punya teman-teman yang seperti ini.
Teman yang tidak pernah memikirkan kebaikan untuk dirinya sendiri tapi
teman-teman dekatnya juga dan teman yang juga tidak pernah lupa untuk
mengingatkan ruhiyah teman-teman dekatnya.
Tapi di satu
sisi mau nangis juga “kapan ya? Bisa mewarnai
orang lain. Pengen gitu bisa seperti Fani, Tika, Alin, Aru”.
Ups... balik
lagi ke cerita Jogja.
Seperti
dugaan kami, wilayah Malioboro macet total. Rasanya sudah tak sanggup melihat
jam tangan, sudahlah saat itu kami cukup lillahi
ta’alla saja. Dan perlahan jalan Malioboro pun mulai terlihat. Dari
belakang Tukeng sudah menyemangati “Ayo Di... udah jalan Malioboro artinya
Stasiun tinggal dikit lagi. Kebut.. kebut.. kebut. Ambil kanan, ambil kanan”
saat itu Tukeng melihat motor adiknya Bu Beti belok ke arah kanan. Tepat sekali
di jalan Malioboro, tiba-tiba.
“Klincing, klincing, klincing”
Allahuakhbar,
tiba-tiba jalan kami di halau kereta kuda. Ingin terobos tapi tepat di depan
ban motor saya itu kepala kuda. Haduh... nanti kudanya kaget! Tsahh.... satu
kereta kuda lewat, coba nge-gas. Tiba-tiba di belakangnya, ternyata masih ada rombongan
kereta kuda. Masyallah... itu stasiun di depan mata sedangkan kita tertahan
karena kereta kuda. Rasanya udah campur aduk, udah tidak tahu lagi harus
berekspresi seperti apa. Yang ada kami hanya bisa tertawa di atas motor.
Hahahahhaha.
-to be
countinued-