SELF REWARD
Kamis, 15 November 2018
Seperti biasa di setiap harinya
kami akan selalu mendapatkan pesan cinta dari wakil kepala sekolah bidang sarana
dan prasarana terkait dengan laporan kebersihan kelas. Entah, ini sudah berapa
kalinya saya melihat kelas 12 IPA 3 cukup sering dibilang tidak OK. Padahal saya
sendiri tahu kalau Fulki bukan orang semacam itu untuk tingkat kebersihan
kelas. Dua tahun lalu ia adalah seseorang yang mencetuskan agar kelas yang
tingkat kebersihannya baik harus mendapatkan reward. Hingga sampai saat ini reward
itu masih berjalan sebagaimana ide yang ia gagaskan.
Tapi, entah mengapa semenjak
menjadi wali kelas di tahun ajaran 2018/2019 motivasi untuk menjadi kelas
terbersih terlihat mulai luntur. Padahal saya masih ingat sekali 3 tahun
sebelumnya, ia adalah orang yang paling excited
terhadap kebersihan kelas. Masih teringat bagaimana ia setiap harinya dengan
rajin selalu mengontrol anak-anaknya piket dan selalu memastikan bahwa kelas
harus di pel dan jendela harus di bersihkan. Wajar! Jika ia selalu mendapatkan reward kelas terbersih. Tapi, entah
mengapa kini seolah ia tak peduli.
Malam itu saya coba kirim pesan
singkat kepada dirinya. Eits! Jangan salah paham, saya kirim pesan bukan karena
saya memiliki perasaan khusus kepada dirinya. Semuanya pure hanya sebatas rasa peduli sebagai teman. Lagipula saya juga
bukan orang yang sembarangan bertanya kabar laki-laki sana sini tanpa
kepentingan apapun. Saya pun paham bahwa antara perempuan dan laki-laki itu punya
batasan yang harus tetap di jaga. Karena itu saya tidak akan berkomunikasi
dengan sembarangan laki-laki jika tidak memiliki benteng, salah satunya nikah. Itulah
mengapa saya lebih nyaman berbicara dengan laki-laki yang sudah menikah di
banding yang belum menikah. Karena paling tidak dengan itu, kami tidak akan
terlibat perasaan. Bagi saya tidak akan pernah ada persahabatan antara
laki-laki dengan perempuan, jika bukan saya yang jatuh hati padanya maka dia
yang akan jatuh hati. Kalaupun saya terlihat akrab dengan laki-laki yang belum
menikah. Maka kemungkinannya hanya dua, kalau bukan ia orang yang istimewa
untuk saya maka ia adalah orang yang paham akan batas itu.
Kurang lebih chat nya seperti
ini.
Setelah di baca-baca lagi, jadi
mikir... ngomong apa dah saya? sok-sok an nasehatin orang. Wakakkkaka.
Intinya sih gini ya...
Pertama, ini terkait SELF REWARD. Saya itu pencinta drama
korea. Ada salah satu ilmu yang pernah saya dapatkan dari salah satu drama tapi
sayangnya saya lupa judulnya apa.
Di episode tersebut menceritakan
tentang keberhasilan seseorang. Kemudian orang tersebut menaiki panggung, apa
yang ia ucapkan? Iyak, Betul!!! Rasa terimakasih. Ia mengatakan bahwa keberhasilan
yang ia dapat tidak akan pernah ia dapatkan tanpa bantuaan dan do’a dari orang-orang
yang ada di sekelilingnya. Kemudian ia sebutkan kepada siapa saja ia
berterimakasih, kepada orang tua, guru lalu teman-temannya ia sebutkan satu
persatu. Dan di akhir pidatonya ia menggaris bawahi bahwa penghargaan itu ia
berikan setinggi-tingginya untuk “DIRI NYA SENDIRI”. Bagi nya penghargaan itu
hanya pantas untuk dirinya sendiri, bukan berarti takabur (karena orang Korea
kan ga kenal Tuhan ya?) tapi ia berterimakasih kepada dirinya sendiri. Karena
dirinya tidak pernah menyerah begitu gagal, dirinya tidak pernah sakit, dirinya
tidak pernah lelah dan dirinya tetap fokus dengan keinginan tersebut.
Dari situ saya belajar, kita
sering dapat kebahagiaan lalu kita berterimakasih kepada Allah (WAJIB) lalu
orangtua lalu rekan seperjuangan dan sebagainya. Tapi kita lupa berterimakasih
kepada diri kita sendiri yang sudah susah payah dan sudah bekerja keras. Padahal
tubuh hanya minta satu hak nya yaitu sholat 2 rokaat pagi hari, setelah itu reward. Rewardnya bebas! Mau istirahat
sepanjang hari ataupun foya-foya seharian juga tidak apa-apa. Yang penting
buatlah satu hari untuk me time. Kalau
bisa jangan tidur seharian.
Agak gemes juga ama handphone nya
Yogi, Tukeng dan Ojan. Semoga Allah memaafkan saya karena saya sama sekali
tidak pernah bermaksud untuk menghina sama sekali, bagi saya handphone yang
mereka gunakan itu tidak layak untuk orang sepenting mereka. Yogi dengan segala
full aktivitas positifnya dan tukeng Ojan dengan segala kepentingan menjalin relasinya,
tapi handphone yang mereka gunakan itu sama sekali kurang mendukung aktivitasnya.
Greget gitu ya! Mereka itu pekerja keras, workaholic. Saya yakin mereka bukan
ga mampu tapi kenapa untuk dirinya sendiri kurang care.
Ha... Entah sudah berapa orang
menasehati mereka tapi mereka masih tetap dengan argumennya bahwa itu bukan
prioritas utama. Sampai akhirnya saya punya kesempatan bicara personal dengan
mereka bertiga. Saya jelasinlah itu self reward dan hasilnya? Tetoootttt.... Mereka
tetap pada pendirian mereka, belum waktunya beli handphone baru. Hahahahahahah.
Tapi emang gitu rasanya ya, kadang ketika nasehatin orang pengen langsung
berhasil tapi faktanya gagal total. Wakkakakak.
But, selang beberapa minggu atau
beberapa bulan kemudian ya? Lupa. Akhirnya ada juga yang ganti handphone. Haaaa...
rasanya seneng banget. Senengnya tuh, bukan karena merasa berhasil menasehati
mereka, karena kan kita ga tau siapa yang sudah membuka hati dan pikiran
mereka. Yang jelas pasti bukan saya, karena kalau saya berhasil menasehati,
pasti mereka sudah beli saat itu juga. Tapi senengnya tuh gimana ya? Hemmm...
kayak sesuatu yang memang seharusnya di letakan dimana semestinya. Bingung kan?
Sama saya juga bingung. Udahlah... pokoknya, semoga yang 2 lainnya segera
mendapatkan yang lebih baik, handphonenya.
OK, masih terkait self reward. Self reward itu tidak
selamanya berkaitan dengan penghargaan tapi juga memaafkan. Kita sadar kita
salah, kita sadar kita menyesal. Oranglain salah mampu kita maafkan, diri kita
salah kita pasti lebih mampu memaafkan. Masih belum mampu?
Kita ingat do’a Rasullah untuk
penduduk Thaif.
Pada tahun yang sama ketika
Rasullah masih berada dalam masa dukanya di tinggal oleh Paman dan istrinya.
Rasul masih tetap melanjutkan dakwahnya ke Thaif, bukannya mendapat perlakuan
baik tapi justru mendapat pengusiran terang-terangan bahkan saat menuju arah pulang
Rasul sudah di hadang oleh pasukan Thaif yang siap melempari batu hingga mengalir
darah segar dari kepala Rasul. Kebayang ya, bagaimana perasaan Rasul? Bahkan
dalam do’a nya Rasullah mengatakan
“Ya Allah aku meminta maaf
kepada-Mu atas kelemahanku dan kekurangan usahaku ....”
Sedih? Pasti.
Menyalahkan diri sendiri? Iya.
Tapi apa setelah itu...?
Setelah Rasul me muhasabah diri
nya sendiri, Rasul tidak berlarut-larut dalam kesedihannya tapi Rasullah justru
berdo’a memohon kebaikan. (Mungkin bisa google sendiri, untuk do’a yang
Rasullah panjatkan).
Kita harus yakin, Allah itu Maha
memaafkan. Kalau kata ustad Adi Hidayat ‘Firaun saja Allah beri kesempatan
untuk bertaubat, apalagi kita?’.
Untuk masa-masa sulitmu biarlah Allah yang menguatkanmu. Tugasmu adalah
memastikan bahwa jarak antara kamu dan Allah tidak pernah jauh.