Kamis, 29 September 2016
CITA-CITA JANGKA PENDEK
Ada seorang teman yang bertanya “Bu Dian, pernah pulang jam segini?”
padahal kala itu masih sekitar pukul 18.00 lewatan.
Dian : “Ga pernah bu, kalau
pulang lebih malem, pernah. Soalnya saya setiap hari pulangnya setengah delapan
malam”
Hana : “Wow, malem amat”
Dian : “Itu mah mendingan
bu. Dulu saya kalo pulang paling cepet jam sembilanan soalnya bimbel dulu bu. Kalau
sekarang saya uda ga bimbel, saya lepas semua bu, kebanyakan kerja jadi
keseringan drop. Tapi kalau sekarang masih suka pulang malem sih, palingan seminggu
sekali”
Hana : “bimbel?”
Dian : “enggak bu. Ikut kajian
aja, selese jam 8 sampai rumah paling cepet setengah 10.”
Hana : “Hebat ya...”
Entah Bu Hana itu sudah orang ke berapa yang mengatakan bahwa saya
adalah orang hebat. Ya mungkin karena saya seorang wanita yang berani pulang
malam sendirian. Sebenarnya kalau di bilang berani sih, tidak juga. Karena jujur
saya juga agak takut pulang malam seiring dengan kisah-kisah begal yang sering
beredar.
Namun di samping itu, sebenarnya saya cukup bersyukur juga, bisa pulang
malam setiap hari. Pertama, karena suasananya. Karena bagi saya malam itu
ibarat pertanda seluruh aktivitas hari itu telah berakhir dan malam adalah
waktu yang paling tepat untuk introspeksi dan evaluasi dengan suasana yang
lebih tenang di banding saat siang hari (saat perjalanan menuju pulang).
Kedua, karena saya tidak terkena
sinar matahari. Ya, bukan karena takut kulit menjadi hitam. Tetapi lebih ke
arah kesehatan. Entah mengapa semenjak terkena DBD sebanyak dua kali, tubuh
saya menjadi sangat sensitif terhadap sinar matahari yaitu mudah sekali
dehidrasi. Jika terpapar sinar matahari terlalu lama, maka tubuh saya akan
menimbulkan bintik-bintik merah dan berujung dengan pusing berat. Karena itu
salah satu cara mengakalinya yaitu dengan berangkat lebih awal yang pulang
lebih belakang.
Nah kalau yang pulang malam hingga setengah sepuluh itu, lain cerita. Ya,
seperti yang saya katakan sebelumnya, saya mengikuti kajian di salah satu
masjid di Jakarta. Ada alasannya, bukan karena ingin sok alim tetapi lebih
kearah pemenuhan hak ruhiyah terhadap jasadiyah. Bagi saya itu adalah hak
veto-nya tubuh saya sekaligus rasa syukur dan terimakasih saya terhadap tubuh
saya yang sudah bekerja full selama seminggu. Coba deh mikir, pernah ga sih??? Kalian
mengucapkan terimakasih terhadap diri sendiri, terhadap tubuh diri sendiri?.
Kalau belum, coba lakukan sekarang dan rasakan. Tepuk pundak kalian dan
usap-usap kepala kalian. Kalau saja tubuh itu bisa bicara, saya yakin ia akan
menuntut haknya layaknya kita menunutut honor di saat sudah lelah bekerja. Kita
sering mengucapkan terimakasih dengan orang lain tetapi lupa berterimakasih
terhadap diri sendiri. Itu alasan pertama.
Kalau alasan kedua, yaitu untuk menghindari kegalauan. Untuk orang yang
seusia saya adalah usia-usia yang sangat rentan dengan perasaan. Ya, perasaan
menanti pasangan hidup yang tak kunjung datang. Menunggu takdir Allah, tak
sanggup. Melanggar perintah Allah pun takut (pacaran). Maka yang muncul adalah
rasa emosi yang meluap-luap dan puncaknya bisa berujung dengan mengingkari
janji Allah. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengingat, mengimani, dan
menyakini janji Allah PASTI yaitu dengan menghadiri majelis-majelis yang di
ridhoi Allah. Ketika kita sedang galau, kita bisa mencari teman atau sahabat
untuk mencurahkan segala kegalauan kita. Namun yang yang perlu di ingat dan
yang perlu dipahami, mereka hanyalah manusia yang bisa memberikan saran ataupun
memberikah solusi tetapi tidak bisa memberikan harapan. Ya, betul kata Umat bin
Khattab : “Aku pernah merasakan semua pahit dan yang paling pahit adalah
berhadap terhadap manusia.”
Karena itu, pulang semalam apapun pasti akan saya kejar dan sejauh
apapun tetap akan saya kejar. Karena saya percaya Allah tidak akan mempersulit
langkah hambanya yang ingin menuntut ilmu. Ya, andaikata saya boleh meminta. Saya
ingin sekali memiliki rumah di daerah sekitar Petamburan, Slipi, ataupun Pal
Merah, ya pokoknya sekitar situlah. Karena daerah situ adalah daerah-daerah
yang mudah di akses untuk menuju ke segala masjid di Jakarta yang banyak mengadakan
kajian rutin dengan pengisi materi yang tidak di ragukan lagi dakwahnya. Amin
amin amin ya Rabba al amin. Semoga kesampain memiliki rumah di sekitaran itu
ataupun kalau tidak, setidaknya bisa memiliki suami yang rumahnnya di sekitaran
situ. Hehehhe.