Kamis, 29 September 2016

CITA-CITA JANGKA PENDEK



Kamis, 29 September 2016
CITA-CITA JANGKA PENDEK

Ada seorang teman yang bertanya “Bu Dian, pernah pulang jam segini?” padahal kala itu masih sekitar pukul 18.00 lewatan.
Dian       : “Ga pernah bu, kalau pulang lebih malem, pernah. Soalnya saya setiap hari pulangnya setengah delapan malam”
Hana      : “Wow, malem amat”
Dian       : “Itu mah mendingan bu. Dulu saya kalo pulang paling cepet jam sembilanan soalnya bimbel dulu bu. Kalau sekarang saya uda ga bimbel, saya lepas semua bu, kebanyakan kerja jadi keseringan drop. Tapi kalau sekarang masih suka pulang malem sih, palingan seminggu sekali”
Hana      : “bimbel?”
Dian       : “enggak bu. Ikut kajian aja, selese jam 8 sampai rumah paling cepet setengah 10.”
Hana      : “Hebat ya...”

Entah Bu Hana itu sudah orang ke berapa yang mengatakan bahwa saya adalah orang hebat. Ya mungkin karena saya seorang wanita yang berani pulang malam sendirian. Sebenarnya kalau di bilang berani sih, tidak juga. Karena jujur saya juga agak takut pulang malam seiring dengan kisah-kisah begal yang sering beredar.

Namun di samping itu, sebenarnya saya cukup bersyukur juga, bisa pulang malam setiap hari. Pertama, karena suasananya. Karena bagi saya malam itu ibarat pertanda seluruh aktivitas hari itu telah berakhir dan malam adalah waktu yang paling tepat untuk introspeksi dan evaluasi dengan suasana yang lebih tenang di banding saat siang hari (saat perjalanan menuju pulang).

Kedua, karena saya tidak  terkena sinar matahari. Ya, bukan karena takut kulit menjadi hitam. Tetapi lebih ke arah kesehatan. Entah mengapa semenjak terkena DBD sebanyak dua kali, tubuh saya menjadi sangat sensitif terhadap sinar matahari yaitu mudah sekali dehidrasi. Jika terpapar sinar matahari terlalu lama, maka tubuh saya akan menimbulkan bintik-bintik merah dan berujung dengan pusing berat. Karena itu salah satu cara mengakalinya yaitu dengan berangkat lebih awal yang pulang lebih belakang.

Nah kalau yang pulang malam hingga setengah sepuluh itu, lain cerita. Ya, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya mengikuti kajian di salah satu masjid di Jakarta. Ada alasannya, bukan karena ingin sok alim tetapi lebih kearah pemenuhan hak ruhiyah terhadap jasadiyah. Bagi saya itu adalah hak veto-nya tubuh saya sekaligus rasa syukur dan terimakasih saya terhadap tubuh saya yang sudah bekerja full selama seminggu. Coba deh mikir, pernah ga sih??? Kalian mengucapkan terimakasih terhadap diri sendiri, terhadap tubuh diri sendiri?. Kalau belum, coba lakukan sekarang dan rasakan. Tepuk pundak kalian dan usap-usap kepala kalian. Kalau saja tubuh itu bisa bicara, saya yakin ia akan menuntut haknya layaknya kita menunutut honor di saat sudah lelah bekerja. Kita sering mengucapkan terimakasih dengan orang lain tetapi lupa berterimakasih terhadap diri sendiri. Itu alasan pertama.

Kalau alasan kedua, yaitu untuk menghindari kegalauan. Untuk orang yang seusia saya adalah usia-usia yang sangat rentan dengan perasaan. Ya, perasaan menanti pasangan hidup yang tak kunjung datang. Menunggu takdir Allah, tak sanggup. Melanggar perintah Allah pun takut (pacaran). Maka yang muncul adalah rasa emosi yang meluap-luap dan puncaknya bisa berujung dengan mengingkari janji Allah. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengingat, mengimani, dan menyakini janji Allah PASTI yaitu dengan menghadiri majelis-majelis yang di ridhoi Allah. Ketika kita sedang galau, kita bisa mencari teman atau sahabat untuk mencurahkan segala kegalauan kita. Namun yang yang perlu di ingat dan yang perlu dipahami, mereka hanyalah manusia yang bisa memberikan saran ataupun memberikah solusi tetapi tidak bisa memberikan harapan. Ya, betul kata Umat bin Khattab : “Aku pernah merasakan semua pahit dan yang paling pahit adalah berhadap terhadap manusia.”

Karena itu, pulang semalam apapun pasti akan saya kejar dan sejauh apapun tetap akan saya kejar. Karena saya percaya Allah tidak akan mempersulit langkah hambanya yang ingin menuntut ilmu. Ya, andaikata saya boleh meminta. Saya ingin sekali memiliki rumah di daerah sekitar Petamburan, Slipi, ataupun Pal Merah, ya pokoknya sekitar situlah. Karena daerah situ adalah daerah-daerah yang mudah di akses untuk menuju ke segala masjid di Jakarta yang banyak mengadakan kajian rutin dengan pengisi materi yang tidak di ragukan lagi dakwahnya. Amin amin amin ya Rabba al amin. Semoga kesampain memiliki rumah di sekitaran itu ataupun kalau tidak, setidaknya bisa memiliki suami yang rumahnnya di sekitaran situ. Hehehhe.

Sabtu, 24 September 2016

Maaf ibu, aku belum bisa



24 September 2016
Maaf ibu, aku belum bisa

Ada sebuah kekhawatiran besar yang dirasakan oleh orangtua, taatkala putrinya yang dirasa sudah terlalu berumur namun tak kunjung juga di lamar oleh seorang pria. Saya yakin, tidak hanya orangtua namun seluruh putri yang ada di dunia ini pun juga merasakan demikian. Hari ini, entah sudah berapa kali engkau bertanya padaku dan selalu sama jawabanku.

Maaf ibu, aku belum bisa mewujudkan keinginanmu.
Aku tahu kekhawatiran mu sama khawatirnya dengan perasaanku. Ketika engkau bertanya “sudah punya calon?” aku hanya terdiam. Karena memang seperti itulah keadaanya, tidak ada. Mungkin prasangka negatif mu terhadap diriku yang di masa lalu masih membanyangimu.

Ya, aku memang tidak punya pacar karena tidak memiliki teman laki-laki. Bagiku, tidak memiliki pacar dan tidak memiliki teman laki-laki adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama prinsip dan yang kedua pilihan. Jangankan untuk berpacaran bu. Untuk sekedar SMS/ WA saja aku ketakutannya minta ampun karena Allah melarang itu. Walau sebenarnya dilubuk kecilku menginginkn itu..

Aku bukannya tidak memiliki teman laki-laki, bu. Teman laki-laki ku cukup banyak. Hanya saja aku membatasi pergaulanku karena agamanya mengajarkan seperti itu. Bagiku, mereka semua adalah teman-temanku. Dan aku tahu seluruh temanku belum siap untuk ke jenjang seperti itu.

Pernah sekali kami (aku dan beberapa teman wanitaku) bertengkar dengan salah satu teman laki-laki. Suatu ketika ia mengeluh tentang kehidupan ekonominya di sebuah forum dan itu cukup membuat kami emosi. Aku tahu bagaimana kondisi ekonominya dan aku pun juga tahu bagaimana usahanya. Bagaiman bisa, ingin mendapatkan hasil luar biasa tapi usahanya biasa-biasa aja. Hingga pada akhirnya ia berkata dengan perkataan yang cukup menusuk hati “laki-laki emang ga mikir nabung buat masa depan. Lha kalo cewek ada yang ngempanin”. Emosi? Iya!. Tapi kami lebih memilih untuk mengalah di banding harus mengadu penderitaan. Yang sebenarnya tidak akan ada yang menang.

Setidaknya dari situ aku tahu. Wanita itu tidak baik memaksa untuk menikah karena beban laki-laki itu cukup banyak. Menanggung diri sendiri, menanggung orang tua dan menanggung adik perempuannya. Karena itu aku tidak akan pernah menawarkan diriku hingga akhirnya “ia yang tak pernah ku tahu” akan datang padaku dengan sendirinya.

Pilihanku hanya dua yaitu menawarkan atau menunggu. Dan yang aku pilih adalah menunggu. Karena aku bukan Khadijah bu, yang baik akhlaknya menawarkan pada seorang yang terbaik yang pernah ada.

Sabtu, 17 September 2016

WASPADA UNTUK WANITA



17 September 2016

WASPADA UNTUK WANITA

Kamis kemarin, Bu Herma tiba-tiba menegur saya
Bu Herma            : Bu Dian, Setiap hari bawa motor?
Dian                       : Iya bu, ada apa memangnya bu?
Bu Herma            : Hati-hati ya, sudah baca yang aku share di grup belum?
Dia                          : Belum bu
Bu Herma            : Aku kena begal motor.
Dian                       : Astagfirullah, kapan dan dimana bu?
Bu Herma            : Sore jam 4 an. Aku di ancem dari Puribeta sampe perempatan Ciledug

JLEB! Pas banget itu daerah rumah saya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa daerah tempat tinggal saya menjadi tempat yang rawan kejahatan. Entah sudah berapa kali daerah Puri Beta memang seolah menjadi markas tindak kejahatan. Sebelumnya pernah terjadi tawuran, lalu begal yang terjadi di dalam kompleks Puri Beta itu sendiri dan yang terakhir adalah peristiwa pembunuhan dipinggir jalan akibat penusukan. Maka pembangunan pos polisi dadakan pun sering dilakukan. Setelah peristiwa pembunuhan tersebut, polisi memang rutin berjaga. Namun setelah dirasa aman kini penjagaan di wilayah Puri Beta pun berkurang. Alhasil ini lah pengalaman Bu Herma.

Ketika Bu Herma sedang mengendari sepeda motornya, tiba-tiba ada dua laki-laki berboncengan mendekati Bu Herma sambil berkata “Bu!!! Berhenti gak? Cepatan minggir!!!”. Mungkin kalau sekali bisa dianggap bercanda namun dua laki-laki tersebut sampai berkali-kali mengancam Bu Herma “Bu!!!! Berhenti! Kalau tidak berhenti kalau tidak berhenti saya ikutin sampai ke rumah”.

Dan peristiwa kejar-kejaranpun terjadi sampai Bu Herma sudah lelah diancam, akhirnya membuka kaca helmnya dan berteriak meminta tolong “TOLLONNNGGGGGG...” berkali-kali. Namun herannya tak ada satu orangpun yang peduli, padahal cukup banyak pengendara motor lainnya yang mendengar. Dan Bu Herma masih tetap teriak sambil kejar-kejaran. Hingga akhirnya di depan mata Bu Herma terdapat kantor polisi dan meminta pertolongan disana walaupun dua laki-laki tersebut entah sudah kabur kemana.

Saya terbayang bagaimana ketakutannya Bu Herma saat itu karena saya juga pernah mengalami pengalaman yang sama. Jika bu Herma mengalaminya di siang hari saya justru di malam hari. Waktu yang tepat untuk melakukan tindak kejahatan. Bahkan sampai saat ini kedua orangtua saya tidak tahu saya pernah mengalami hal tersebut.

Kala itu saya pulang dari rumah Tikpo dan pulang menuju rumah melalui daerah Pesing yang berlanjut ke Jalan Panjang Kebon Jeruk. Saya pilih jalan itu dengan alasan rute tersebutlah yang paling ramai di banding rute lainnya. Saat itu memang cukup malam sekitar jam 9 malam. Tiba-tiba di daerah perempatan Kedoya ada pengendara yang bertanya arah ke saya, kemana arah Pondok Indah. Agak sedikit aneh juga, padahal di perempatan tersebut ada papan petunjuk arah yang sangat besar dan terdapat tulisan Pondok Indah juga.

Saat lampu menunjukan warna hijau saya mulai melanjutan perjalanan. Semua kendaraan yang ada dibelakang saya mulai mendahului saya. Namun saya tidak melihat orang yang bertanya tadi mendahului saya dan saya lihat melalui spion tidak ada kendaraan lain selain saya. Ketika sampai di perempatan Relasi Kebon Jeruk, saya satu-satunya pengendara yang berhenti. Lalu ada pengendara motor lain yang berboncengan mendahului saya dan berhenti didepan saya, karena memang sedang lampu merah. Kemudian ada satu mobil debelakang saya. Tiba-tiba laki-laki yang berhenti di depan saya (berboncengan) yang paling belakang mengalami kejang-kejang dan terjatuh di depan saya. Tidak ada yang melihat laki-laki tersebut kejang-kejang, mungkin yang di dalam mobil juga tidak melihat. Naluri saya langsung tergerak ingin menolong, namun tiba-tiba ada tindakan aneh dari laki-laki tersebut. Saat kejang lelaki tersebut ternyata masih bisa memegang motor depan saya dengan kuat. Ketika motor saya coba untuk parkirkan ternyata stang motor masih tetap lurus karena di tahan oleh lelaki kejang tersebut. Satu persatu motor dari belakang mulai berdatangan tanpa tahu kejadianya seperti apa.

Dan yang membuat saya syok. Pengendara yang membawa laki-laki kejang tersebut sontak marah besar ke saya “MBAK GIMANA SIH BAWA MOTORNYA!!!!”. Seolah saya telah menabrak motor tersebut hingga yang di bonceng terjatuh. Sontak seluruh pengendara motor yang berhenti karena lampu merah melihat ke arah saya. Entah mereka mendengar amarah orang tersebut atau terfokus pada laki-laki yang jatuh. Saat itu, saya rasa pertolongan Allah datang yaitu lampu berubah menjadi warna hijau. Sebagian orang mulai tidak peduli dengan kejadian tersebut dan tetap melanjutkan perjalanannya. Dan saya langsung paksa banting stang sehingga tangan orang yang kejang terhempas dan saya tancap gas tinggi. Di sepanjang jalan, tangan saya gemetaran antara melawan rasa takut dan menjaga keseimbangan berkendara. Makanya saya mengerti benar, bagaimana perasaan Bu Herma dalam kedaan ketakutan, teriak minta tolong dan di tambah dengan kondisi kejar-kejaran dengan pelaku kejahatan.

Satu pelajaran yang dapat saya ambil. Sekuat-kuatnya wanita, setangguh-tangguhnya wanita dan semandirinya wanita itu memang tidak baik berkendara sendirian apalagi pada malam hari. Akhirnya saya paham mengapa Rasullah itu melarang wanita berpergian tanpa mahramnya. Selain untuk menghindari fitnah dengan lingkungan sekitarnya ternyata juga untuk perlindungan dirinya sendiri. Karena pada dasarnya wanita itu lemah.

Beberapa hal yang dapat saya pahami.
Pertama, Saya paham, mengapa laki-laki itu selalu applause jika wanita itu terlihat mandiri. Namun di dalam hati mereka, sebenarnya justru takut jika kaum wanita itu kenapa-kenapa.
Kedua, Saya juga paham, mengapa teman laki-laki atau rekan kerja laki-laki baik muda ataupun tua selalu mengkhawatirkan saya sebagai perempuan yang suka pulang malam ataupun berjalan-jalan sendirian. Karena selama ini saya cenderung cuek dan tidak terbiasa dengan perhatian laki-laki, jadi suka menganggap perhatian mereka hanya sekedar angin lalu. Mungkin sikap ini yang membuat laki-laki merasa minder dengan saya. Serasa di cuekin. Hehhe ngelantur. OK balik lagi.

Saya jadi teringat setiap interview kerja, pasti menanyakan bagaimana saya menuju tempat interview. Dan mereka selalu berkata “Wahhh, beraninya???” dan itu yang berkata laki-laki. Walaupun kedengarannya seperti pujian tapi sebenarnya ungkapan kekhawatiran. Dan saya masih ingat bapak yang menginterview saya terakhir yaitu tempat kerja saya sekarang.

“Kesini naik motor???. Perempuan sekarang berani-berani ya... Guru sini juga ada yang rumah nya Depok naik motor. Ya ga pa pa. Yang penting tetap hati-hati.”

Saat itu saya memaknai kata hati-hati sebagai tindakan waspada terhadap kecelakaan di jalan namun ternyata kata hati-hati tersebut juga untuk waspada untuk tindak kriminal di jalan.

Rabu, 14 September 2016

SERABI


09 September 2016

Ada pepeatah jawa yang mengatakan :
“Witing Tresno Jalaran Soko Kuliner” eh Kulino.
Tapi benar juga perkataan Ustad Felix, munculnya cinta itu bukan karena terbiasa tapi karena sering makan bersama. Itu sebabnnya, mengapa untuk mengenal seseorang atau mempererat ukhuwah dan silahturahmi itu lebih baik dengan makan bersama. Kita kesampingkan tuh teknologi (HP) dengan cerita, diskusi, sharing, curhat atau mungkin debat bareng kawan-kawan yang jarang sekali atau tidak pernah dilakukan.

Hari ini untuk pertama kalinya GMHT membuat gebrakan baru dengan makan bersama. Bosen juga, kalau setiap kumpul selalu nyanyi-nyanyi terus.

Seperti biasa, setiap selesai siswa UTS atau UAS adalah waktunya kami untuk melepaskan segala kepenatan pekerjaan. Karena kalau sudah di sekolah jangankan untuk kumpul makan siang bersama, untuk ngobrol satu sama lain aja susah, maklumlah harus jaim (jaga image) di depan siswa. Harus jadi teladan, sosok, dan panutan yang baik untuk siswanya. Kalau ngobrol asal jeplak dan ternyata sedang diperhatikan siswa, itu rasanya gimana gitu ...

Ah~ ngomongin GMHT kalau di sekolah, inget kejadian tadi. Gimana ciutnya GMHT ngadepin kelas yang masyallah badungnya minta ampun. Ternyata kasus-kasus yang seperti di drama/ film tentang guru yang menyerah dengan kelas yang badung itu ada. Masih teringat saat saya pertama kali mengajar SMK, bukan satu tetapi semua kelas sulit untuk di atur. Setiap masuk kelas, mengajar itu sudah seperti ngomong sendiri. Ada yang terang-terangan dandan, makan, tidur, pukul-pukul meja, dan dorong-dorongan itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Konsentrasi belajar mereka hanya 5 menit di awal sisanya amarah saya dan puncak emosi saya pernah sampai saya pukul meja sampai tangan saya berdarah dan bengkak berhari-hari. Sakitnya bukan di tangan, tetapi di hati. Namun seiring dengan berjalannya waktu akhirnya saya bisa juga menjadi guru yang disegani siswa SMK. Sampai-sampai kalau saya diam sedikit saja, mereka sudah paham. Memang anak-anak seperti mereka hanya bisa di lawan dengan kekerasan.

Berbeda dengan di HT, untuk hal sederhana seperti mukul meja untuk menenangkan siswa di kelas atau membentak siswa untuk diam saja itu dilarang keras. Memang!!! berbeda sekolah beda juga cara mendidik. Makanya kami sebagai guru yang terlihat muda di mata mereka kadang suka di spelein.

Jadi ceritanya begini. Dari semua angkatan, angkatan terparah itu kelas X dan dedengkotnya itu ada di X IPS 1. Pernah saya sekali mengawas di X IPS 1, bayangkan?! Yang namanya UTS itu biasanya tenang diawal membaca soal, baru di menit-menit terakhir sibuk mencari contekan. Lha ini??? Baru 10 menit, bener-bener tidak ada suasana UTS-UTS nya. Waktu UTS serasa waktu istirahat, yang ada saya marah-marah tiap menit untuk menenangkan mereka. UTS baru berjalan 30 menit, saya langsung WhatsApp panitia UTS “Ngawas di X IPS 1 musibah banget, saya give up ...ga kuat”. Dan temen-teman yang lain responnya, ada yang menertawakan dan ada juga yang menguatkan “Sabar ya bu 1 jam lagi” rasanya pengen nangis saya.

Nah, hari terakhir mengawas dan pelajaran terakhir itu ceritanya jam mengawas untuk wali kelas. Saya bersyukur dong, tidak perlu mengawas dan bisa bersantai-santai di ruang guru karena saya bukan wali kelas. Ternyata eh ternyata ada beberapa wali kelas yang tidak hadir. Otomatis guru-guru yang sedang mengganggur akan dipekerjakan. Saya reflek aja lihat kelas mana yang tidak ada wali kelasnya. Dan ternyata kelas X IPS, haduhhhh saya langsung pura-pura sibuk mengoreksi ulangan.
Bu Bety                                : “Bu Dian, mau ngawas dimana?”
Dian                                      : “Jangan saya bu, Rivai aja. Dia mah siap siaga”
Bu Bety                                : “Pai... Pai... sini-sini, ayo ngawas”
Pai                                        : “Ini Juni aja bu”
Juni                                       : “Jangan saya bu, baru keluar kelas”
Bu Bety                                : “Sudah sini, kamu aja Pai. Kasian Juni belum istirahat”
Dengan berat hati Rifai mengakat langkahnya. Dalam hati (Dian, Juni, Dodi, Cindy) “YES MENANG”.

Tiba-tiba, jeng jeng jeng. Wali kelas X IPS 1 muncul.
Bu Ema                 : “Hei kamu, ngawas dong di X IPS 1” menunjuk ke saya.
Dian                       : “Sudah bu, saya cukup sekali aja di X IPS 1”
Entah suasana tiba-tiba menjadi hening. Si Dodi nunduk sibuk main HP, Juni sibuk ngoreksi, Bu Retno sibuk ngoreksi. Dan bu ema masih berusaha.
Bu Ema                 : “Kamu deh yang ngawas, kamu juga boleh, atau kamu”
Juni/Dodi               : “Terimakasih bu”
Rifai                       : “Saya ngawas di X IPS 2 aja bu” Langsung beneran cabut si Pai n Cindy.
Bu Ema                 : “Yah ga ada yang mau, ya udah deh saya aja yang ngawas...”
Juni/Dodi/Dian      : “Semangat ibu”

Sumpah kalau liat di CCTV, mungkin keliatan ekspresi ciutnya GMHT. Jadi lucu.

Jadi ngelantur. Tadi lagi ngomongin kuliner GMHT ya...

Seperti biasa, walau kali ini tidak dalam formasi lengkap tapi mission harus jalan yaitu Zia, Seno, Pai, Eni dan saya. Awalnya kami ingin nonton WARKOP tapi si Zia sudah di tunggu suaminya di rumah, soalnya kalau nonton paling tidak kami baru selesai jam 4an kasian suaminya kalau menunggu di rumah terlalu lama. Alhasil kami putuskan untuk kulineran serabi bandung di sekitar wilayah UHAMKA LIMAU.

Sebelum memesan kami sudah membuat perjanjian yaitu kami tidak boleh memesan menu yang sama agar bisa icip-icip. Diawali dengan pilihan saya yang jatuh hati dengan serabi toping coklat plus keju melted, hemmm penasaran dengan keju meltednya. Lalu Zia si pencinta rasa asin memilih serabi dengan tobingg bolonaise plus dagingnya. Dan Seno memilih serabi campur oreo dengan dengan satu skup ice cream. Sudah hanya tiga serabi itu yang kami pesan. Sisanya agak sedikit menyimpang yaitu Eni memesan banana split. Itu sejenis pisang dengan toping 3 macam es krim dengan 3 varian rasa dan yang paling atas stroberi yang baunya masyallah seger bener, rasanya uda pengen saya caplok. Seger... Nah!!! Kalo Pai lebih menyimpang lagi. Dia justru milih makanan berat padahal sebelumnya di sekolah kami sudah makan berat. Ampun dah! Perut laki-laki memang berbeda ya? Dan dengan lucunya yang lain juga tergiur makanan berat. Si Seno nambah nasi goreng Pataya dan Bu Zia spageti. Subhanallah... dasyat dah GMHT!

Satu persatu pesanan mulai berdatangan. Entah bagaimana ceritanya, menu yang berdatangan itu menu-menu yang mudah mencair seperti serabi toping eskrimnya seno, banana spilnya bu eni dan minuman yang mudah mencair. Ah~ tapi tetap kita sudah buat perjanjian ‘tidak boleh dimakan sebelum semua menunya datang seluruhnya’ dengan tujuan jahat kami untuk manas-manasin kawan-kawan yang tidak ikut. Hahahahha #evil. Semenit, dua menit, tiga menit, sepuluh menit masih tahan tapi begitu melihat es yang mulai mencair, runtuh sudah pertahanan itu. Serbuuuuu.....

Udah tuh!!! Itu makanan siapa, ga peduli. Yang penting musti coba semua. Kurang, nambah, kurang, nambah, kurang, nambah. Dan inilah saat-saat yang paling mendebarkan, tagihan bill. Tetoret-toret. THE END.
 
Serabi dengan coklat dan keju melted. Agak sedikit kecewa sih. Katanya kejunya melted tapi ini ga ada melted-meltednya.

Serabi dengan saus bolonaise (norak deh gw, cara nulisnya)
Serabi dengan oreo plus ice cream
 Ini nih, banana split. Stroberinya itu loh... yang wanginya hemmmmmm
Fuyunghai... lebih kayak bakwan. Cuma isinya wortel n kol. NO SEAFOOD!!! Ga papalah kalo makan bareng-bareng.

Cuma ini aja yang sempet ke poto, sisanya uda kelahap duluan.



Sampai sini saya masih bingung mau kasih judul apa.