Selasa, 28 Juni 2016

PENYESALAN



Selasa, 28 Juni 2016



Video di atas adalah kegiatan siswa-siswi SMA lebih khusus perkumpulan anggota ROHIS SMA se Jakarta Selatan dalam rangka TOR (Takjil On the Road). Pertama kali liat video di atas, mengingatkan saya akan penyesalan terbesar yang pernah saya alami yaitu mengapa saya tidak menjadi anggota dan aktif di Rohis ketika SMA. Padahal dulu saya pernah menjadi mentor di SMA. Semoga Allah mengampuni pilihan yang saya ambil ketika itu yaitu meninggalkan rohis.

Dahulu dimata saya, Rohis itu ibarat perkumpulan anak-anak tersisihkan. Yang tidak bermain dengan kawan lainya dan hanya bermain sesama anggotanya. Maka tak jarang ketika membuat tugas kelompok di sekolah selalu tersisihkan. Masih teringat dalam ingatan saya ketika kelas 11. Ketika itu saya berada di 11 IPA B dimana dikelas tersebut, siswi yang menggunakan hijab (penutup kepala) memiliki jumlah terbanyak di banding bandingkan kelas lainya. Dan setiap membuat kelompok selalu kami yang behijab berkumpul menjadi satu, termasuk saya. Sungguh saat itu saya merasa tersisihkan. Padahal saat itu kami tidak pernah mengeksklusifkan atau memisahkan diri dengan yang lain namun selalu seperti itulah faktanya. Seolah teman lainya yang menjauh dari kami.

 XII-IPA-D
 XII-IPA-D
 
Pernah terpikirkan ‘Apakah karena kerudung ini teman-teman tidak mau berteman dengan saya?’ . Dan setiap memikirkan itu, bayangan untuk melepas kerudung selalu muncul setiap saat. Maklum, ketika SMA, jujur! Saya memakai kerudung karena di paksa oleh orangtua saya.

Sebenarnya saya sudah di ajak ibu saya memakai kerudung sejak SD. Berawal ketika saya pindah dari kampung dan akan disekolahkan di Jakarta, Ibu sudah menawarkan
‘kamu mau pakai kerudung tak?’
Jangan membayangkan memakai kerudung saat itu seperti sekarang dimana sudah banyak balita memakai kerudung tetapi zaman dulu memakai kerudung merupakan suatu hal yang tabu. Karena saya takut berbeda dari yang lain maka saya mengatakan
‘nanti bu kalo udah SMP’
Dan uniknya ketika SMP, ibu saya masih ingat dengan janji saya dan lagi-lagi saya katakan
‘nanti bu kalau sudah SMA’

Dan ketika SMA, sungguh ketika daftar sekolah bersama ibu saya. Saya takut mendapat pertanyaan seperti itu kembali dan alhamdulillah ibu saya tidak bertanya demikian. Dalam hati sudah tenang, alhamdulillah ibu lupa. Namun ketika membeli seragam sekolah si Ibu tidak bertanya pendapat saya lagi. Ia langsung memesan
‘Baju putih-putih, putih abu-abu, olahraga ukuran nya L. Bajunya lengan panjang ya’
JLEB!!! cuma bisa melotot! Cuma bisa pasrah saat Ibu bilang seperti itu. Di tambah lagi, di rumah Ibu sudah menyiapkan baju sehari-hari berupa lengan panjang dan celana panjang. Salut dengan Ibu, ketika ingin merubah anaknya itu tidak tanggung-tanggung, totalitas perjuangan.

Mencoba menerima sepenuh hati toh selama ini sudah terlalu sering mengumbar janji, apa salahnya mengabulkan keinginan orangtua di tambah lagi saya sudah baliq. Dengan mengucap Bismilah saya mencoba menjalaninya.

Namun ketakutan yang saya khawatirkan benar muncul apa adanya. Ketika saya menggunakan kerudung justru tidak ada yang mau berteman dengan saya. Hanya siswa sesama memakai kerudung dan teman yang dekat rumah saja yang mau berteman dengan saya. Mencoba tetap menguatkan hati untuk tetap berkurudung, akhirnya saya putuskan berkumpul dengan teman-teman yang menggunakan kerudung. Dari situ saya mulai mengenal hijab (pembatas) antara laki-laki dan perempuan. Sedikit agak kaget dengan kebiasaan ketika akan bertemu dengan lawan jenis itu harus menggunakan horden untuk bicara tanpa tahu mukanya seperti apa.

Lalu saya mulai mengikuti mentoring kelas 10 dari yang awalnya di pegang oleh kakak kelas kemudian di pegang oleh alumni yang sudah kuliah. Awalnya sih asyik mendengar ilmu-ilmu baru dari senior tapi lama kelamaan kok jadi horor begini. Saya dituntut untuk mentoring tambahan dihari Sabtu padahal sebelumnya selalu di sela-sela sholat jumat. Berat rasanya melangkahkan kaki untuk keluar rumah di hari Sabtu yang seharusnya untuk istirahat. Bukan hanya itu, jarak rumah saya dengan sekolahlah (Ciledug-Kemanggisan) yang semakin membuat saya malas untuk berangkat. Belum lagi saya harus setoran hapalan, amalan sunnah dan sebagainya yang membuat saya image mentor ini horor.

Apakah mereka tidak berfikir rumah saya jauh, tugas sekolah banyak, ini malah di tambahin beban. Dari situ saya memutuskan untuk keluar dari mentoring dan di tambah lagi teman-teman di luar sudah mulai memulai membuka diri untuk saya. Dari situ saya mulai mengenal dunia hedon.

Berbagai macam cara saya lakukan untuk menghindari si mentor. Dari mengganti no HP hingga mengamati tingkah laku kakak mentor. Contohnya begini di sekolah itu ada 3 tangga. Kakak mentor memiliki kebiasaan selalu naik ke kelas melalui tangga yang menuju kantin karena itu adalah tangga yang paling dekat menuju kelas saya. Karena saya tahu kebiasaan mentor seperti itu maka begitu bel istirahat saya buru-buru ke kantin melalui tangga tengah. (haduh! Bandel amat!)

Ada hal positif ketika saya mulai meninggalkan kegiatan mentoring yaitu saya menjadi lebih fokus untuk belajar. Dari belajar dengan teman, guru bahkan mengikuti bimbingan belajarpun saya lakoni. Dari situ alhamdulillah saya mendapatkan PMDK Politeknik Kesehatan jurusan Farmasi di daerah kebon Nanas kalau tidak salah. Namun dengan keyakinan hati saya putuskan untuk melepaskannya dengan alasan saya kurang berminat dengan pelajaran kimia, ditakutkan kedepannya saya akan mengalami kesulitan. Kemudian saya mengikuti SPMB dan alhamdulillah saya di terima di UNJ jurusan Fisika. Padahal kalau berdasarkan nilai Ujian Nasional dari ke enam pelajaran nilai kimia saya paling tinggi sedangkan nilai fisika terkecil. Hah~ kadang hati tidak sejalan dengan logika.

Yup, dunia kampus adalah dunia baru bagi saya. Kuliah, cabut, organisasi sudah tidak ada yang mengatur diri ini lagi. Apa yang ingin dilakukan sudah sesuka hati. Tidak ada pengawasan guru tidak ada pengawasan orangtua.

Namun bayangan UNJ buyar semua. UNJ kampus negeri namun terasa berada di pesantren especially FMIPA. Berharap lepas dari dunia rohis justru terjebak di pesantren. Maka kegiatan seperti pembinaan ruhiyah islamiyah mahasiswanyapun gencar dilakukan oleh senior-seniornya. Tidak boleh satupun kegiatan kampus yang lepas dari islam. Misalnya dari kegiatan organisasi, mau kegiatan yang bersifat islamiah atau umum bahkan tingkat nasional, tilawah quran itu tidak boleh lepas. Takhayal kegiatan semacam ini sering diperdebatkan, bahkan dengan dosen sendiri.

Tak berbeda jauh dengan SMA, kegiatan mentoring pun tetap menjadi prioritas utama kampus. Ada yang bertahan dan ada juga yang sudah gugur di awal. Biasa... kalau diajak kebaikan memang agak susah dibandingkan di ajak hura-hura.

Hingga saya pun bertemu dengan dirinya. Seorang wanita sebaya, sejurusan dan sekelas. Dia orang yang paling sabar mengajarkan islam ke saya di banding dengan murobi saya. Kebetulan murobi saya agak galak karena dari sekian binaanya saya paling bandel, jadi sering di omelin. Karena dia-lah saya bertahan dengan liqoat saya. Seiring berjalanya waktu masalah satu persatu mulai bermunculan dari masalah organisasi hingga masalah perkuliahan kumpul jadi satu. Sampai saya merasa hanya tinggal sendiri di dunia ini. Dan saat itulah saya mulai meninggalkan satu persatu mulai dari organisasi hingga liqoat. Berat memang! Di tambah lagi tidak ada yang menguatkan, termasuk dia. Usut punya usut ternyata dia juga sedang dalam masalah besar. Jauh lebih besar dari apa yang saya hadapi. Hingga akhirnya kami dipertemukan lagi walau bukan di organisasi ataupun liqo, tetapi dalam penyelesaian skripsi. Dan setelah skripsi selesai, kami menghilang bagai ditelan bumi.

Namun tak ada yang saya sesali mengenal dirinya walaupun ia sering hilang dan muncul tiba-tiba. (Lain kali saya ceritakan siapa dia dan bagaimana caranya mengenalkan islam). Darinya saya belajar islam itu tidak semenakutkan yang ada di pikiran saya. Bayangan saya begitu kamu sudah memasuki dunia islam kamu akan di kejar-kejar agar kamu bertahan di dunia islam itu.

Contohnya seperti mentoring tadi, ketika saya memutuskan untuk berhenti apa yang saya rasakan? Teror dari mentor. Telpon SMS tidak pernah berhenti sampai-sampai saya berganti nomor handphone. Darinya saya tahu mengapa mentor saya seperti itu.

“Mentor bersikap seperti itu bukan karena berharap kamu tetap bertahan dalam organisasinya. Dimana mengharuskan kamu untuk men-syiar-kan agama. Namun mereka justru lebih khawatir setelah kamu keluar dari sana bagaimana dengan ruhiyah kamu, takut kamu bisa bertahan atau malah tergoyahkan dengan lingkungan luar disana”

Dari situ saya menyesal sejadi-jadinya dengan keputusan yang saya ambil dahulu. Coba saja, saya bisa bertahan sedikit saja. Mungkin saya tidak akan menyesal seperti ini. Kemudahan yang saya dapatkan ketika di terima Universitas negeri mungkin adalah sebuah tamparan dari Allah bahwa Allah itu tidak pernah meninggalkan hambanya walaupun hambanya sendiri sudah melupakanya. Di tambah lagi Allah masih tetap mengirimkan orang sepertinya ke saya.

Ada satu pernyataan saya dahulu, yang saya sesali. Andai bisa mengubah saya sangat ingin merubahnya yaitu anak rohis itu anak-anak yang tersisihkan. Justru sekarang ini yang saya lihat anak-anak rohis itu anak-anak yang silaturahminya tidak pernah putus. Ketika awalnya jumlahnya segitu maka sampai sekarang jumlahnya akan segitu. Dibanding dengan teman-teman saya yang lain yang jumlah semakin menyusut. Entah karena rutinitas atau karena sudah tak se-visi lagi.

Justru mereka inilah (anak Rohis) yang sekarang banyak dicari orang, termasuk saya. Karena merekalah yang dapat memberi syafaat di akhirat kelak. Maka kemarin agak sedih, ketika mencoba berkomunikasi dengan teman lama hanya sedikit sekali teman yang bisa di ajak ke jalan kebaikan. Bahkan lima saja tidak sampai. Andai waktu bisa di putar kembali, saya ingin sekali kembali kemasa itu dan berkumpul bersama mereka (Rohis SMA atau teman liqoat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar