Entah mengapa, belakangan ini selalu di hadapkan dengan
kasus yang berkaitan tentang hubungan sosial orangtua dan anak. Kasus yang
selama ini hanya saya jumpai dalam buku bimbingan konseling yang di dapatkan
dalam modul ketika saya masih menempuh jenjang pendidikan SMA, kini saya
melihat faktanya sendiri. Walaupun memang tidak secara langsung saya alami
sendiri tetapi masih bisa saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Mungkin
memang benar tingkat pendidikan orangtua mempengaruhi karakter anak yang mereka
didik, walaupun tidak sepenuhnya benar.
Pekerjaan yang kami (red:guru) geluti memang memaksa kami
tidak hanya harus berinteraksi dengan siswa namun orangtua pun tak jarang masih
kita geluti. Masih ingat di kepala saya, ketika pertama kali mengajar di
sekolah swasta yang sebagian siswanya berada pada tingkat ekonomi yang menengah
ke bawah bahkan mungkin jauh dibawah.
Jika mungkin kita
biasa melihat seorang guru memarahi hingga membentak siswanya karena melakukan
kesalahan, ini pertama kalinya saya melihat guru memarahi habis-habisan
orangtua siswa. Bingung, kaget hingga syok pikiran saya waktu itu. Bagaimana
mungkin seorang guru bisa bersikap seperti itu kepada orangtua murid. Yang kalau
di ibaratkan orangtua murid di sekolah swasta itu seperti mesin ATM yang bersedia
mengeluarkan dana untuk anaknya sekolah dibanding anak yang sekolah gratis
(red: sekolah negeri). Bukan sepatutnyalah guru bersikap seperti itu hingga
tidak dapat menahan emosinya.
Namun setelah ditelusuri, ternyata orangtua murid ini memang
sudah keteraluan dan ternyata waktu itu bukanlah yang pertama kali namun sudah
berkali-kali. Pertama, dari surat panggilan sekolah yang sudah diberikan tidak
satupun dipenuhi. Kedua, orangtua ini (maaf) sepertinya sudah tidak peduli
dengan anaknya. Jangankan untuk tahu anaknya akan mengikuti Ujian Nasional
(UN), anaknya sekolahpun ia tidak tahu. Anaknya mau dirumah masa bodo, anak mau
ke sekolah masa bodo bahkan anaknya mau nongkrong di pinggir rel pun masa bodo.
Miris hati saya! mendengar keterangan bapak guru itu.
Kadang saya suka berfikir “Kenapa sih saya harus bekerja
ditempat seperti ini, tempat yang jauh dari harapan saya”. Dan saat itulah saya
dapat jawaban, mungkin Allah ingin menunjukan ‘ini loh potret pendidikan
Indonesia, ada loh kasus kayak gini, bahkan di Jakarta. Pendidikan tuh ga
sebatas kamu untuk mengajarkan supaya muridmu pintar jadi dokter, jadi insinyur
atau jadi pilot . Jauh deh dari apa yang kamu bayangkan!’.
Kalau di pikir-pikir kuliah 4,5 tahun di U*J serasa tidak
ada gunanya (kecuali untuk diri saya sendiri). Di kuliah saya belajar
menghitung rumus, mempelajari metode pembelajaran untuk menarik minat belajar,
hingga menciptakan media pembelajaran. Namun tak satupun dapat dimanfaatkan.
Disini kami harus putar otak supaya siswa mau belajar bahkan kami harus putar
otak supaya anak berangkat dari rumah itu tujuannya ke sekolah, bukan ke
terminal atau ke pinggir rel.
Itu hanya sebagian kecil kasus yang pernah saya lihat. Belum
lagi kasus siswa yang tidak masuk berhari-hari, ternyata sudah ‘tek dung’ dan
ini seolah-olah biasa di alami murid bahkan satu kelas bisa terdapat tiga siswa
yang mengalami ‘kecelakaan’. Innalillah. Adalagi kasus teman saya yang
dikejar-kejar atau lebih tepatnya diteror orangtua murid untuk meminjam uang
karena orangtua tersebut ditagih hutang.
Itu kalau kasus yang dialami oleh anak yang menengah
kebawah, kalau anak yang menengah ke atas kasusnya lebih ektrim lagi. Ada yang
broken home, ada yang memilih tinggal bersama neneknya daripada orangtua,
bahkan ada juga siswa yang mendoakan orangtuanya supaya masuk neraka. Kasus
seperti perkelahian,bullying, narkoba, pencurian dan macam-macamlah ternyata
ada. Alhamdulillah Allah membuka mata saya supaya kelak saya harus menjadi
orangtua yang lebih baik dan banyak memperhatikan perkembangan anak.
Dan ada satu kasus satu lagi, kasus sederhana yang mungkin
bisa membuat saya atau mungkin kita (red: saya dan yang membaca) lebih banyak
bersyukur lagi.
Kalau saya perhatikan, setiap jam pelajaran pertama sebagian
besar siswa pasti datang terlambat dan selama jam pelajaran berlangsung, siswa
sangat hobi sekali pergi ke WC dan alasannya itu bukan buang air kecil tetapi (maaf)
buang air besar. Setelah berbincang-bincang dengan guru dengan maksud mencari
informasi apakah hanya di jam pelajaran saya siswa bersikap seperti atau di jam
pelajaran lain memiliki sikap yang sama pula. Namun, saya justru mendapat fakta
yang berbeda. Jadi, mengapa siswa itu suka sekali ke WC karena sebagian siswa
itu tidak memiliki kamar mandi di rumahnya. Jadi jika siswa mau mandi, cuci,
dan lainya mereka lakukan di WC umum dan seperti yang kita ketahui yang namanya
WC umum itu pasti ngantri, itulah sebabnya mengapa siswa sering terlambat atau
mengapa siswa suka sekali ke WC sekolah, karena WC sekolah gratis.
Allahuakhbar.
Kadang kita lupa bersyukur. Setiap hari berdo’a selalu meminta
limpahan rizki sampai lupa memiliki kamar mandi di rumah pun juga rizki. Jika
selama ini selalu mengukur rizki dengan uang yang belum dimiliki namun apa yang
sudah kita miliki juga termasuk rizki. Alhamdulillah.
Aaa! Kalau mikirin masalah anak-anak tuh tidak ada habisnya
dari emosi, kesel, dongkol sampe gondok pun campur-campur.Pusing saya kalau dipikirkan
terus. Banyaknya kasus orangtua-anak yang sudah saya lihat, seolah menunjukan
ketidakpedulian orangtua terhadap anaknya. Bahkan pak dhe saya (kakak ipar dari
ibu saya) tidak ingat nama anak-anaknya. Bukan karena beliau tidak peduli
terhadap anaknya namun terlebih karena memang faktor usia. Belajar dari
pengalaman akhirnya saya dan ibu mau ngetes si-bapak (orangtua saya), berhubung
bapak sudah berumur. Hehehhe. Apa masihh
ingat dengan anak-anaknya atau tidak. Kalau ditanya nama anaknya pasti masih
inget. Secara anaknya cuma dua dan setiap hari nungguin anaknya pulang ke rumah
dulu sampai ketiduran di ruangtamu dan baru pindah tidur ke kamarnya kalau
kedua anaknya sudah sampai rumah. Kalau tetap tidak ingat keterlaluan namanya.
Ibu = ‘Pak, coba si Dian lupa tuh tanggal lahirnya. Coba
kasih tau!’
Bapak = ‘Ah!!! Masak begitu lupa’ (Si Bapak pasang muka
serius)
Dian = ‘hehheheh. Iya nih lupa’
Ibu = “kasih tau coba”
Bapak = “Tanggal 14 bulan Januari, eh 14 Februari”
Ibu = “Masih inget yan bapakmu”
Dian = “Alhamdulillah, wakakakakak”
#CatatanHatiSeorangGuru1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar