Setiap ada teman yang bertanya “nama twitter/instagram kamu
apa well?”. Well bukan dalam artian bahasa inggris yang artinya baik atau
sumur, tetapi well adalah siangkatan nama dari Dian Wahyu Lestari atau di
singkat DWL (baca: de we el). Layaknya seseorang yang memiliki nama panggilan
singkat seperti nisa di panggil nis atau ratna di panggil na, maka nama saya
pun dipanggil well. Agak ga enak sih?! Tapi ga papalah. Ya kali, temen-temen
biasa panggil dwL trus manggil singkatnya yannn, ga nyambung!
Nama dwL pertama kali muncul saat SMA kelas XII. Anak SMA
zaman saya dulu punya kebiasaan setiap sms selalu di akhiri emoticon yang
dibuat dari lambang-lambang yang ada di HP. Misalnya sms seperti ini:
Yan, bsk jgn lupa bw cttan mtk gw y? Ok (^.^)b
Kalau sedang senyum emotnya :-), tertawa :-D , ngeledek :-P
Saya tidak habis fikir, bagaimana cara mereka membuat
ikon-ikon tersebut! Karena saya orangnya malas berfikir hanya untuk memikirkan
membuat emot lucu (karena masih banyak yang harus yang pikirkan misalnya rumus
matematika) akhirnya saya selalu menggunakan singkatan nama saya diakhir sms,
walaupun sebenarnya temen saya sudah menyimpan no HP saya.
“Ok sip. _dwL_”
Sekali dua kali sms, tidak ada komentar namun lama kelamaan ada juga yang komentar ‘lu ngapain sih nulis nama diakhir sms, kan gw uda tau nama lu’. Hehehe nyengir aja saya. Tetapi dari situ lama-kelamaan teman-teman memanggil dengan nama dwL, berhubung ada nama Dian yang sama juga yang satu namanya Dianur dan saya Dian Wahyu. Ya mungkin karena terlalu panjang memanggil nama saya akhirnya mereka memanggil saya dwL. Dan nama dwL itu hanya panggilan untuk di kelas XII IPA D. Ketika di luar XII IPA D nama saya kembali menjadi Dian. Tetapi pada akhirnya sampai saya lulus SMA saya masih di panggil dwL.
Merasa asing dengan dwL, akhirnya saya putuskan untuk menghilangkan nama itu ketika masuk kuliah. Jadi setiap berkenalan dengan teman baru, memperkenalkan diri dengan kakak tingkat, ade tingkat dalam kepanitiaan selalu menyebut nama Dian. Tapi apa mau di kata, lagi-lagi ada yang nama Dian di kelas saya dan Tikpo-lah orang pertama yang memperkenalkan nama saya sebagai dwL.
Seiring dengan berjalannya waktu sayapun semakin nyaman dengan panggilan itu, selain unik ternyata nama saya juga menginspirasi teman-teman yang lain. Misalnya Nur Eka Oktaviani dipanggil NEO, Nur Eka Fitriani dipanggil NEF, dan bahkan ada anak biologi bernama siti dipanggil CT (si ti = baca alfabetnya dalam bahasa inggris). Hahhaha bangga juga, karena saya satu-satunya nama yang konsonan semua yang bisa jadi nama panggilan. Tidak terlalu membangga juga sih, karena itu hanya masalah kebiasaan.
Sedikit narsis, ga papa kan ya? Ok, yang sebenarnya ingin saya bahas adalah masalah Kanzi Ajzi itu sebabnya mengapa di judul saya beri tanda kutip.
Balik lagi ke Kanzi Ajzii.
“nama twitter/instagram kamu apa well?”
“KanziAjzii”
Ekspresi pertama saat mendengar nama itu pasti berkata
“Bahasa Jepang ya?” atau “Bahasa Korea?”
Hummf, kalo bahasa jepang mungkin nyambung tapi kalau bahasa
korea sepertinnya jauh deh.
“Bukan! Bahasa arab itu” nah nanti dari situ reaksi setiap
orang berbeda-beda, ada yang hanya ada yang bilang ‘oooo’, ada juga yang
bertanya artinya. Kalau lagi mood saya jelasin kalau tidak mood ya tidak saya
jelaskan.
Jadi Kanzi Ajzii adalah sebuah prinsip hidup yang di pegang oleh ulama Turki, Badi’uzzaman Said An-Nursy yang artinya sumber kekuatanku adalah kelemahanku. Pada awalnya saya tidak mengerti apa maksud prinsipnya itu. Dulu dalam bayangan saya, (saya ambil contoh dari diri saya sendiri) karena saya itu orangnya melankolis (red: cengeng) maka saya menganggap melankolis adalah kelemahan saya sekaligus kekuatan saya untuk menaklukan orang. Karena biasanya orang akan takluk atau tidak tega ketika melihat orang menangis.
Tapi jawaban itu malah membuat saya tidak puas ‘masak sih sesederhana itu?’. Lalu saya mulai berfikir bagaimana jika kasusnya seseorang siswa yang memiliki kelemahan pada pelajaran matematika tetapi harus belajar matematika disepanjang statusnya sebagai siswa. Apakah dengan kelemahanya itu dijadikan sebagai motivasi agar ia semakin bersemangat untuk belajar matematika? Hingga pada akhirnya siswa tersebut paham dengan matematika. Lalu ketika kelemahanya dapat diatasi maka ia tidak akan memiliki kelemahan lagi yang secara tidak langsung tidak akan memiliki kekuatan lagi? Ah sungguh membingungkan dengan prinsip Kanzi Ajzii itu.
Namun setelah membaca buku dan sering mendengarkan ceramah, akhirnya sedikit demi sedikit saya temukan makna dari kalimat “sumber kekuatanku adalah kelemahanku”.
Jadi ini adalah kisah Rasullah ketika perang parit (khondaq).
Perang tersulit yang pernah Rasullah alami. Dimana sekelompok orang kafir memiliki
misi untuk merebut madinah, menghancurkan islam dan membunuh Rasullah. Jumlah
pasukan mereka ada sekitar 10.000 dan pasukan islam hanya 3.000, secara logika matematika umat muslim
tidak akan menang dengan lawan yang jumlahnya hampir tiga kali lipat. Saya
tidak sanggup membayangkan bagaimana satu orang tentara muslim harus menghadapi
tiga orang tentara musuh dengan kemungkinan menang hanya 33%. Merinding setiap
kali membayangkannya. Tapi untungnya
Tuhan saya tidak memakai logika matematika, logika tuhan saya sederhana yaitu
kunfayakun. Ketika Tuhan saya mau
melakukan sesuatu tinggal berkata kunfayakun, maka jadi dan maka jadilah.
Subhanallah, ternyata rencananya kaum kafir ini bocor di telinga Rasullah. Dan yang lebih mecengangkannya lagi Rasullah mendapatkan informasinya langsung dari Allah melalui malaikat Jibril. Tidak hanya sampai situ Allah juga memberikan kecerdasan kepada Salman Al Farisi melalui idenya untuk membangun parit sebagai benteng pertahanan. Umat muslim hanya memiliki waktu 5-6 hari untuk membangun parit yang jika di analogikan panjangnya itu dari Cawang sampai Semanggi. Jika kita ketahui menggali ditanah Arab itu tidak seperti di tanah Indonesia. Tanah Arab itu tanah yang hampir sebagian besar berupa batuan. Jadi umat muslin bukan menggali lagi namanya tetapi memecah batuan.
Dalam buku Sirah Nabawiyah penulis Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakti (Saya sungguh berterimakasi kepada Hamida yang telah menghadiahkan saya buku ini, kalimat pertama yang terucap saat menerimanya ‘apakah akan saya baca?’. Alhamdulillah buku ini ternyata dapat menjadi referensi saat mendengar kisah Rasullah di setiap ceramah yang saya dengar) bahkan di paparkan bagaimana sulitnya penggalian parit ini. Di ceritakan umat muslim yang berkerja sepanjang siang dan malam tanpa henti, mereka dapat bertahan hanya dengan makan satu genggaman tangan gandum yang dicampur dengan minyak, bahkan disaat kekurangan bahan makanan mereka pernah makan satu biji kurma untuk 10 orang. Dan ketika mereka kehabisan bahan makanan mereka akan menganjal perut mereka dengan batu begitu pula dengan Rasullah.
Penggalian parit ini tidak semudah dibayangkan mereka harus berhadapan dengan kerasnya batuan, panas matahari, lelah, dan lapar. Di riawayatkan “saat menggali parit, dibeberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa di gali oleh cangkul. Kami melaporkan ini kepada Rasullah SAW. Beliau datang mengambil cangkul dan bersabda ‘Bismillah’” kemudian tanah yang keras itu hancur bagaikan debu dalam sekali hantaman. Inilah logika sederhana Allah yaitu KUNFAYAKUN.
Tidak hanya sampai situ logika sederhana KUNFAYAKUN Allah.
Setelah pembangunan parit selesai dan banyak kaum kafir
terjebak pada galian tersebut, Allah masih memberikan bantuanya berupa
pengiriman angin taufan ke perkemahan
mereka sehingga kemah-kemah mereka porak poranda bahkan Allah mengirimkan
malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau dengan menyusupkan
ketakutan ke dalam hati mereka. AllahuAkbar!
Dari kisah ini saya memahami makna Kanzi Ajzii bukanlah kelemahan manusia yang terlihat kasat mata atau kelemahan menurut cara pandang manusia. Tetapi kelemahan di sini adalah kelemahan ketika manusia mulai menyadari dirinya bukan siapa-siapa, tidak memiliki kekuatan apa-apa maka ia akan meng-0-kan diri. Dan disaat yang sama ia akan meng-Esa-kan Allah, karena hanya Allah-lah tempat satu-satunya harapan, satu-satunya kekuatan yang bisa di andalkan. Maka Ary Ginanjar Agustian seolah mengatakan Kanzi Ajzii layaknya angka 1 di bagi 0 yang hasilnya tak hingga. Satu untuk Allah dan nol untuk manusia/seluruh makhluknya maka hasilnya adalah tak hingga yang artinya apabila kita menuhankan Allah yang satu kemudian kita meletakan diri kita sebagai hamba dengan meng-nol-kan diri di hadapannya atau mensucikan hati maka kita akan menuju kepada kekuatan Sang Maha Tak Hingga (Allah), Allah akan menolong kita dengan kekuatan luar biasa.
Pernyataan dia atas hampir sama pernyataan Ustad Felix Siauw. Ustad Felix mengatakan satu-satunya tempat untuk berharap dan bergantung hanyalah Allah SWT. Maka menjadi muslim itu ajaib, urusannya tidak pernah salah. Jika mendapat kebaikan maka kebaikan itu membuat manusia bersyukur dan itu baik bagi dia dan jika dia dapat keburukanmaka keburukan itu membuat ia bersabar dan sabar itu juga bagi dia. Bahkan ketika ia tidak mendapat apa yang diinginkan, ia percaya Allah itu pasti akan menyediakan yang lebih baik bagi dia. Fakta menunjukan umat muslim jarang yang sress berbeda dengan umat non-muslim. Contohnya seperti di Jepang dimana hampir setiap tahunnya orang meninggal sekitar 300.000 akibat bunuh diri dan penyebab utamannya karena manusia tidak menemukan kebahagiaan. Ketika tidak lulus ujian bunuh diri, ketika di bully juga bunuh diri dan sebagainya. Semua itu dilakukan karena mereka tidak tahu kepada siapa lagi mereka berharap makanya mereka memilih jalan bunuh diri untuk menyelesaikan masalah.
Maka bersyukurlah kita, ketika manusia menyadari bahwa kita ciptaan Allah, hidup kita untuk beribadah kepada Allah dan kita tahu satu tujuan hidup itu melaksanakan agama ini sesuai perintah Allah. Maka tidak akan ada lagi rasa gelisah dalam menghadapi kehidupan yang sementara ini. Kanzi Ajzii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar