Minggu, 17 Januari 2016

untitle

Seberapa menyesalnya aku mengenal dirimu. Setidaknya aku bersyukur, kau tidak pernah mengatakan apapun dan menjanjikan apapun padaku.

Jumat, 15 Januari 2016

Hubungan Dengan Orangtua



Entah mengapa, belakangan ini selalu di hadapkan dengan kasus yang berkaitan tentang hubungan sosial orangtua dan anak. Kasus yang selama ini hanya saya jumpai dalam buku bimbingan konseling yang di dapatkan dalam modul ketika saya masih menempuh jenjang pendidikan SMA, kini saya melihat faktanya sendiri. Walaupun memang tidak secara langsung saya alami sendiri tetapi masih bisa saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Mungkin memang benar tingkat pendidikan orangtua mempengaruhi karakter anak yang mereka didik, walaupun tidak sepenuhnya benar.

Pekerjaan yang kami (red:guru) geluti memang memaksa kami tidak hanya harus berinteraksi dengan siswa namun orangtua pun tak jarang masih kita geluti. Masih ingat di kepala saya, ketika pertama kali mengajar di sekolah swasta yang sebagian siswanya berada pada tingkat ekonomi yang menengah ke bawah bahkan mungkin jauh dibawah.

 Jika mungkin kita biasa melihat seorang guru memarahi hingga membentak siswanya karena melakukan kesalahan, ini pertama kalinya saya melihat guru memarahi habis-habisan orangtua siswa. Bingung, kaget hingga syok pikiran saya waktu itu. Bagaimana mungkin seorang guru bisa bersikap seperti itu kepada orangtua murid. Yang kalau di ibaratkan orangtua murid di sekolah swasta itu seperti mesin ATM yang bersedia mengeluarkan dana untuk anaknya sekolah dibanding anak yang sekolah gratis (red: sekolah negeri). Bukan sepatutnyalah guru bersikap seperti itu hingga tidak dapat menahan emosinya. 

Namun setelah ditelusuri, ternyata orangtua murid ini memang sudah keteraluan dan ternyata waktu itu bukanlah yang pertama kali namun sudah berkali-kali. Pertama, dari surat panggilan sekolah yang sudah diberikan tidak satupun dipenuhi. Kedua, orangtua ini (maaf) sepertinya sudah tidak peduli dengan anaknya. Jangankan untuk tahu anaknya akan mengikuti Ujian Nasional (UN), anaknya sekolahpun ia tidak tahu. Anaknya mau dirumah masa bodo, anak mau ke sekolah masa bodo bahkan anaknya mau nongkrong di pinggir rel pun masa bodo. Miris hati saya! mendengar keterangan bapak guru itu.

Kadang saya suka berfikir “Kenapa sih saya harus bekerja ditempat seperti ini, tempat yang jauh dari harapan saya”. Dan saat itulah saya dapat jawaban, mungkin Allah ingin menunjukan ‘ini loh potret pendidikan Indonesia, ada loh kasus kayak gini, bahkan di Jakarta. Pendidikan tuh ga sebatas kamu untuk mengajarkan supaya muridmu pintar jadi dokter, jadi insinyur atau jadi pilot . Jauh deh dari apa yang kamu bayangkan!’.

Kalau di pikir-pikir kuliah 4,5 tahun di U*J serasa tidak ada gunanya (kecuali untuk diri saya sendiri). Di kuliah saya belajar menghitung rumus, mempelajari metode pembelajaran untuk menarik minat belajar, hingga menciptakan media pembelajaran. Namun tak satupun dapat dimanfaatkan. Disini kami harus putar otak supaya siswa mau belajar bahkan kami harus putar otak supaya anak berangkat dari rumah itu tujuannya ke sekolah, bukan ke terminal atau ke pinggir rel.

Itu hanya sebagian kecil kasus yang pernah saya lihat. Belum lagi kasus siswa yang tidak masuk berhari-hari, ternyata sudah ‘tek dung’ dan ini seolah-olah biasa di alami murid bahkan satu kelas bisa terdapat tiga siswa yang mengalami ‘kecelakaan’. Innalillah. Adalagi kasus teman saya yang dikejar-kejar atau lebih tepatnya diteror orangtua murid untuk meminjam uang karena orangtua tersebut ditagih hutang.

Itu kalau kasus yang dialami oleh anak yang menengah kebawah, kalau anak yang menengah ke atas kasusnya lebih ektrim lagi. Ada yang broken home, ada yang memilih tinggal bersama neneknya daripada orangtua, bahkan ada juga siswa yang mendoakan orangtuanya supaya masuk neraka. Kasus seperti perkelahian,bullying, narkoba, pencurian dan macam-macamlah ternyata ada. Alhamdulillah Allah membuka mata saya supaya kelak saya harus menjadi orangtua yang lebih baik dan banyak memperhatikan perkembangan anak.

Dan ada satu kasus satu lagi, kasus sederhana yang mungkin bisa membuat saya atau mungkin kita (red: saya dan yang membaca) lebih banyak bersyukur lagi.
Kalau saya perhatikan, setiap jam pelajaran pertama sebagian besar siswa pasti datang terlambat dan selama jam pelajaran berlangsung, siswa sangat hobi sekali pergi ke WC dan alasannya itu bukan buang air kecil tetapi (maaf) buang air besar. Setelah berbincang-bincang dengan guru dengan maksud mencari informasi apakah hanya di jam pelajaran saya siswa bersikap seperti atau di jam pelajaran lain memiliki sikap yang sama pula. Namun, saya justru mendapat fakta yang berbeda. Jadi, mengapa siswa itu suka sekali ke WC karena sebagian siswa itu tidak memiliki kamar mandi di rumahnya. Jadi jika siswa mau mandi, cuci, dan lainya mereka lakukan di WC umum dan seperti yang kita ketahui yang namanya WC umum itu pasti ngantri, itulah sebabnya mengapa siswa sering terlambat atau mengapa siswa suka sekali ke WC sekolah, karena WC sekolah gratis. Allahuakhbar. 

Kadang kita lupa bersyukur. Setiap hari berdo’a selalu meminta limpahan rizki sampai lupa memiliki kamar mandi di rumah pun juga rizki. Jika selama ini selalu mengukur rizki dengan uang yang belum dimiliki namun apa yang sudah kita miliki juga termasuk rizki. Alhamdulillah.

Aaa! Kalau mikirin masalah anak-anak tuh tidak ada habisnya dari emosi, kesel, dongkol sampe gondok pun campur-campur.Pusing saya kalau dipikirkan terus. Banyaknya kasus orangtua-anak yang sudah saya lihat, seolah menunjukan ketidakpedulian orangtua terhadap anaknya. Bahkan pak dhe saya (kakak ipar dari ibu saya) tidak ingat nama anak-anaknya. Bukan karena beliau tidak peduli terhadap anaknya namun terlebih karena memang faktor usia. Belajar dari pengalaman akhirnya saya dan ibu mau ngetes si-bapak (orangtua saya), berhubung bapak sudah berumur. Hehehhe.  Apa masihh ingat dengan anak-anaknya atau tidak. Kalau ditanya nama anaknya pasti masih inget. Secara anaknya cuma dua dan setiap hari nungguin anaknya pulang ke rumah dulu sampai ketiduran di ruangtamu dan baru pindah tidur ke kamarnya kalau kedua anaknya sudah sampai rumah. Kalau tetap tidak ingat keterlaluan namanya.

Ibu = ‘Pak, coba si Dian lupa tuh tanggal lahirnya. Coba kasih tau!’
Bapak = ‘Ah!!! Masak begitu lupa’ (Si Bapak pasang muka serius)
Dian = ‘hehheheh. Iya nih lupa’
Ibu = “kasih tau coba”
Bapak = “Tanggal 14 bulan Januari, eh 14 Februari”
Ibu = “Masih inget yan bapakmu”
Dian = “Alhamdulillah, wakakakakak”



#CatatanHatiSeorangGuru1