Kamis, 03 Januari 2019

KARAKTER, VISI DAN PENGAKUAN (1)


01 Januari 2019

Beberapa pekan akhir ini, entah mengapa lebih banyak mendengar kesan negatif tentang diri ini. Banyak orang yang bilang saya itu sombong, galak, keras, gampang marah, memandang rendah oranglain bahkan tidak pernah ramah kepada siapapun.

Hugh... (menghela nafas) rasanya seperti sebuah tamparan berat. Sebegitu negatifkah karakter saya?. Sampai ada beberapa rekan kerja “untuk urusan pekerjaanpun” segan untuk memulai pembicaraan.

Memang benar apa kata pepatah yang mengatakan “yang paling sulit itu adalah menerima kenyataan pada diri kita”. Antara takut kecewa dengan apa yang sudah di percayai selama ini atau tidak mau berubah dan merubah kepercayaannya selama ini. Tinggal sekarang, pilihannya itu memperbaiki kenyataan tersebut atau tertindas memikirkan omongan oranglain.

Semangat dian, sepahit apapun hidup kamu harus bisa melaluinya.

Saya itu punya dua teman yang saya saluuuuutttt banget dengan mereka berdua, Zia dan Tukeng. Mereka itu orang yang paling bisa mengontrol emosi di depan orang yang membuat kesal mereka. Saya tahu bagaimana kondisi mereka saat mereka kesal, marah bahkan emosi tingkat tinggi pada seseorang. Tapi begitu mereka bertemu bahkan berbicara dengan orang tersebut, tak sedikitpun mereka menunjukan kekesalan itu walau hanya sekecil kerikil. Mereka bisa bersikap tenang bahkan bersikap lembut, sebaik-baiknya bersikap terhadap dengan orang yang sudah membuat mereka emosi. Sedangkan saya? hagh! Boro-boro bisa seperti itu...

Jadi terngingat hari terakhir di Jogja. Hari itu kami mendapat musibah yaitu belanjaan yang kami beli di toko batik siang hari, tiba-tiba entah lupa tertinggal dimana. Dan kami baru teringat begitu sampai rumah ternyata sudah magrib, sedangkan pukul 20:00 kami sudah harus berangkat menuju Stasiun Tugu Malioboro. Kebayangkan kan? Bagaimana macetnya daerah sana di tambah lagi kami belum packing dan mengirim paket baju kotor.

Akhirnya sekitar pukul 19:30 kami mulai berangkat dan di antar dengan motor oleh keluarganya Bu Beti (Masyallah, semoga Allah memberi keberkahan dalam keluarga besarnya bu Beti. Itu beneran, sumpah ngerepotin banget) untuk menghindari kemacetan di wilayah Malioboro.

Setelah kirim paket kami lanjutkan kembali ke toko batik tersebut untuk menghilangkan rasa penasaran kami bahwa batik tersebut memang sudah tidak ada di sana. Sesampainya disana, hal yang tak pernah saya bayangkan itu ternyata adiknya Bu Beti meminta tolong security untuk cek CCTV di tempat kemungkinan kami kehilangan belanjaan tersebut dan ternyata memang tidak ada. Ya sudah kami ikhlaskan. Sedangkan saat itu waktu sudah menunjukan pukul 21:00 dan kereta keberangkatan Tukeng pukul 21:25.

Saya tahu, saya dan Tukeng itu panik, sepanik-paniknya. Khawatir, bisa sampai tepat waktu atau tidak di stasiun dalam waktu 25 menit. Sedangkan di google map arah Stasiun Tugu berwarna merah tua. Hagh?! Saya coba mengendarai dengan kecepatan tinggi mencoba mengejar motor adiknya Bu Beti yang sudah melaju kencang di depan.

Tapi memang seperti itu ya, ketika kita panik entah mengapa tiba-tiba semua hambatan muncul seketika. Entah mobil yang tiba-tiba nyetir sembaranganlah di saat lagi ngebut-ngebutnya sampai kita kehilangan jejak motor adiknya Bu Beti. Wah... Pikiran kacau saat itu, uda kebayang gimana kalau sampai nyasar tak tau arah ke Stasiun Tugu, telat dan ketinggalan kereta, mana belum cetak tiket juga. Pikiran kalut saat itu.

But, saat itu pula tiba-tiba Tukeng mengelus lengan kanan saya sambil berkata “Tenang di ... Tenang di ...”. Astagfirullah hal adzim, tamparan berat! Padahal Tukeng yang akan terlambat tapi Tukeng pula yang masih bisa tetap tenang.

Saat itu, akhirnya saya paham juga akan sebuah pertanyaan yang dari dulu sungguh membuat penasaran.
“Mengapa dua orang yang berbeda karakter bisa hidup bersama, bisa berjodoh atau mungkin bisa juga berteman baik”. Jawabannya seperti jawaban yang sebenarnya sudah saya dapatkan dari dulu. Sederhana, simple “karena untuk saling melengkapi”. Kamu termasuk orang yang emosi, maka harus berteman dengan orang yang pandai menenangkan. Kamu orang yang pendiam, kamu harus berteman dengan orang yang cerewet. Dan seterusnya, dan seterusnya...

Lalu apakah artinya dua orang berbeda tidak akan menemukan satu titik tujuan ?.
Tidak, itu salah. Yang benar, visi itu harus sama karakter boleh beda. Berbeda karakter bukan berarti berbeda pemikiran, berbeda pemahaman. Justru biasanya, ketika dua orang memilih untuk bersama entah berjodoh atau berteman baik biasanya karena memiliki satu kesamaan (SATU VISI). Bisa saja nyaman berteman karena sama-sama suka hiking/ travelling/ olahraga ataupun bisa berjodoh karena sama-sama satu profesi. Apapun alasannya, pasti itulah visi mereka.

Sama seperti kisah Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Ketika Musa mendapat amanah untuk mendakwahi fir’aun, (sebelum berangkat) Musa meminta kepada Allah SWT untuk di berikan seorang teman yang bisa meneguhkan pendiriaanya. Dan permintaan Musa tidak sembarangan, Musa paham dimana kelebihannya dan Musa paham pula dimana kekurangannya karena itu Musa memilih Harun, yang Musa yakini mampu melengkapi kekurangannnya, mampu menguatkan amanahnya dan pastinya harus memiliki visi yang sama. Yaitu apa yang akan dilakukan ataupun dikerjakan adalah karena Allah ta’alla.

Saya banyak belajar dari kisah Nabi Musa as tentang sebuah pertemanan. Tanpa kita sadari, ada satu alasan mengapa kita bisa berteman dengan seseorang hingga bertahun-tahun adalah karena visi kita yang sama.

Hem... rasanya saya terlalu sering bercerita tentang cita-cita saya dan teman saya yang alhamdulillah atas izin Allah dulu pernah ke Korea. Dan saya selalu suka untuk menceritakaanya berulang-ulang bahkan untuk beribu-ribu kali pun saya tidak akan pernah bosan. Saya tidak pernah menceritakan seperti apa itu Korea ataupun apa yang saya lakukan di Korea. Tapi yang saya selalu ceritakan itu adalah prosesnya. Bagaimana saya bertemu dengan teman-teman saya, bagaimana saya bisa mengumpulkan uang hingga belasan juta, apa saja yang kami lakukan ketika kami mulai menyerah untuk tidak berangkat dan sebagainya.

Dari situ saya belajar, untuk mewujudkan cita-cita itu tidak bisa di raih seorang diri tapi kita butuh teman yang se-visi, kita butuh teman yang tetap saling mengingatkan dan teman yang saling meneguhkan.

Sama seperti pengalaman saya mengikuti tes CPNS 2018.
Saya memiliki seorang teman, Fani namanya. Jauh sebelum CPNS DKI membuka lowongan, kami sudah mencari-cari info apapun terkait persyaratan mengikuti seleksi CPNS guru. Hingga tibalah waktunya, DKI membuka pengumuman CPNS.

Jedar!!! Rasanya seperti tersambar halilintar, DKI mengharuskan sebuah persyaratan yang cukup membuat berat yaitu TOEFL minimal 400. Dan kami sadar, kami tidak memiliki kemampuan itu bahkan dulu saat kuliah kami harus mengulang tes TOEFL hingga tiga kali hanya demi kata lulus.
Udah! Saat itu sudah tidak kepikiran lagi untuk ikut CPNS DKI. Di tambah lagi teman di satu lingkungan kerja pun seluruhnya menyerah untuk mengikuti CPNS DKI.
Hilangnya harapan itu  dengan sendirinya.

Hari itu Jumat, tiba-tiba Fani nelpon menawarkan untuk tes TOEFL bareng di ILP Tanjung Duren pada hari Senin. Yang paling paham atas kemampuan saya itu adalah saya. Dan saya paham sekali, saya tidak akan lulus. Dulu saja saya harus mengulang tiga kali dan kini saya harus tes TOEFL di lembaga bahasa asingnya langsung, rasanya tidak mungkin untuk lulus dengan skor 400. Itu terlalu tinggi. Tapi Fani, pandai sekali menyakinkan padahal saya tahu ketakutan yang saya rasakan pasti ia rasakan juga.
“Wel, dwL masih punya waktu 2 hari untuk belajar. Kita sama-sama kerja keras ya Wel”
Hati tiba-tiba menjadi tenang. Ya Allah, rasanya sudah lama sekali tidak di rangkul.

Hari Senin pun tiba. Pulang sekolah kembali saya di telpon Fani. Di seberang sana suara Fani terdengar sangat lirih, terlihat sekali kesehatannya sedang terganggu.
“Well, gimana? Hari ini jadi tes?”
Dengan nada pasrah saya menjawab.
“Fan, kayaknya gw ga bisa ikut tes deh. Di sekolah lagi sibuk banget, ga bisa ninggalin kerjaan”
“Tapi udah belajar?”
“Udah sih. Tapi ya gitu, belajar sekenanya aja. Banyak kerjaan sekolah yang musti di selesein”
“Yah wel, kalo kerjaan banyak. Fani juga, kalo nurutin kerjaan mah ga bakal kelar”
“Tapi fan gw ga ada waktu”
“sama... Fani juga, kalo kayak gini musti sempet-sempetin Wel”
“Terus gw juga belom bener-bener belajar”
“Nah sama, Fani juga. Ini Fani sempet-sempetin belajar pas jam istirahat ma guru bahasa inggris. Ya udah...gimana kalo tes nya kita mundur Selasa aja. Kalo Selasa kita masih ada waktu tuh buat registrasi. Soalnya kalo udah lewat Selasa uda ga bisa, TOEFLnya kan butuh waktu 1 minggu buat tau hasilnya”
Masih jiper, ga pede, hopless..
“Tapi fan... bla bla bla” saya terus berdalih.
“Wel wel.. dengerin Fani, dengerin Fani” Fani mencoba memotong omongan saya yang terus berdalih.
“Semua yang dwL rasain, juga Fani rasain. Pasti dwL mikirin juga kan, gimana caranya sekali tes ini langsung lulus (soalnya biayanya mahal, 250 rb sekali tes). Pasti dwL ga mau ngulang lagi kan?. Gini well... kita ga akan tahu hasilnya, kalau kita belum pernah mencoba. Kalaupun nanti hasilnya tak sesuai harapan, ya sudah kita ikhlasin aja setidaknya kita sudah ikhtiar, terus kita juga masih bisa coba di formasi lain juga kan... Gimana sholat dhuha dan qiyamul lailnya? Masih jalan kan? Fani titip doa ya Well, Fani sedih. Fani lagi ga sholat jadi ga bisa QL. Fanni uda titip do’a ma anak-anak tapi Fani titip doa ma dwL juga ya?”

Huuuaaaa.... rasanya mau nangis saat itu, ternyata saya punya teman-teman yang seperti ini. Teman yang tidak pernah memikirkan kebaikan untuk dirinya sendiri tapi teman-teman dekatnya juga dan teman yang juga tidak pernah lupa untuk mengingatkan ruhiyah teman-teman dekatnya.

Tapi di satu sisi mau nangis juga “kapan ya? Bisa mewarnai orang lain. Pengen gitu bisa seperti Fani, Tika, Alin, Aru”.

Ups... balik lagi ke cerita Jogja.

Seperti dugaan kami, wilayah Malioboro macet total. Rasanya sudah tak sanggup melihat jam tangan, sudahlah saat itu kami cukup lillahi ta’alla saja. Dan perlahan jalan Malioboro pun mulai terlihat. Dari belakang Tukeng sudah menyemangati “Ayo Di... udah jalan Malioboro artinya Stasiun tinggal dikit lagi. Kebut.. kebut.. kebut. Ambil kanan, ambil kanan” saat itu Tukeng melihat motor adiknya Bu Beti belok ke arah kanan. Tepat sekali di jalan Malioboro, tiba-tiba.
“Klincing, klincing, klincing”

Allahuakhbar, tiba-tiba jalan kami di halau kereta kuda. Ingin terobos tapi tepat di depan ban motor saya itu kepala kuda. Haduh... nanti kudanya kaget! Tsahh.... satu kereta kuda lewat, coba nge-gas. Tiba-tiba di belakangnya, ternyata masih ada rombongan kereta kuda. Masyallah... itu stasiun di depan mata sedangkan kita tertahan karena kereta kuda. Rasanya udah campur aduk, udah tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Yang ada kami hanya bisa tertawa di atas motor. Hahahahhaha.

-to be countinued-